Sunday, December 4, 2011

Gigi-gigi Maryam dan Zahra

Meskipun jam menunjuk angka 11, siang ini langit tak begitu cerah, bahkan agak hitam. Namun begitu tak menyurutkan Maryam dan Zahra untuk memeriksakan giginya di balai desa Sekepicung Dago Atas. Kakak adik yang hanya berbeda 10 menit kelahiran itu begitu antusias mendengar di desanya akan ada pemeriksaan dan pengobatan gratis.

“Maryam... Zahra... Ummi dapat kabar dari Pak RT kalau besok ada pengobatan gratis di balai desa.” Sambil menyiapkan makan siang, Ummi Fatimah mengabarkan informasi yang baru saja didapatnya dari Pak RT pagi tadi.

“Oyah Mi? Zahra mau dong dipelikca... hmm... emang bica pelikca apa aja Mi?” Zahra yang usianya udah hampir 7 tahun, namun masih pura-pura cadel ini menanggapi. Ummi hanya geleng-geleng saja mendengar tingkah Zahra. Padahal sebenarnya Zahra sudah bisa mengucapkan R dan S sejak 2 tahun lalu. Namun, demi menarik perhatian Umminya Zahra suka pura-pura cadel. Itulah Zahra, berbeda dengan Maryam yang 10 menit lebih tua darinya. Ia bicara seadanya, tidak dibuat-buat, punya kemampuan analogi yang bagus dan peka terhadap situasi yang ada di sekelilingnya. Misalnya saja, ketika ia dan Umminya belanja ke pasar, tanpa diminta Ummi, Maryam langsung membawakan barang belanjaan Umminya.

Maryam yang kebetulan membantu Ummi memandang adiknya dan kemudian ke Umminya, “Ummi, aku dan Zahra kan bentar lagi sekolah, tapi Zahra masih pura-pura cadel tuh...” Yang diomongin langsung ngebales, “Yee bialin Kak Maryam.”

“Ya sudah jangan ribut. Bentar lagi kita makan siang. Zahra, nanti kalo sudah masuk sekolah ngomongnya biasa aja ya. Janji ama Ummi oke..,” Ummi menjulurkan kelingking tangan kanannya kepada Zahra. “Janji, Mi,” Zahra membalas dengan kelingking tangan kanannya. “Janji wanita sholehah!” Ummi dan Zahra saling berjanji.

*****

Siang itu. “Kak, Zahra mau pelikca gigi aja. Soalnya Ummi kemalin bilang ada doktel giginya juga di balai desa,” Zahra menyiapkan sandalnya. “Iya boleh. Nanti kakak juga mau periksa gigi sama mau ikut numpang ditimbang,” Maryam yang dari tadi sudah siap menunggu Zahra.

Maka, kakak beradik itu kemudian bilang ke Umminya untuk periksa gigi. “Ummi g ikut aja sekalian?” Wajah polos Zahra terlihat memohon pada Umminya. “Ummi jaga rumah aja ya. Nanti kalau sempat menyusul. Ummi sedang menyelesaikan cerpen buat dikirim nanti sore via email ke majalah.” Zahra yang masih belum ngerti cerpen dan email itu apa hanya ber-ooo... Akhirnya Maryam dan Zahra pun siap melangkah menuju balai desa. Sebelum berangkat tiba-tiba Maryam mengangkat kedua tangannya dan merapihkan jilbab Zahra. Ummi tersenyum melihat kedua malaikatnya itu.

Suasana di balai desa cukup ramai. Maklum selain ini hari minggu, seluruh warga Sekepicung tak mau kelewatan pengobatan yang dilakukan oleh salah satu badan amal di sebuah kampus kota Bandung ini, apalagi tentunya gratis.

“Maryam dan Zahra setelah ini,” seorang petugas berompi oranye memanggil Maryam dan Zahra. Maryam yang sedang melihat dan mendengar obrolan ibu-ibu di sekelilingnya langsung menyentuh pundak adiknya. Kakak beradik itu menuju meja pemeriksaan. Terlihat seorang perempuan berkacamata, berjilbab ungu, dan berusia 25-an sedang memeriksa gigi seorang ibu-ibu paruh baya. Sesekali ia bertanya kepada ibu itu.

“Ibu, coba liat yang bagian kirinya,” Perempuan meminta ibu itu membuka mulutnya.

“Waduh neng, maaf... ibu malu. Yang sebelah kiri lebih jelek dari yang kanan. Giginya udah rusak. Ibu juga kalo makan nggak pernah pake gigi yang sebelah kiri. Tapi sebenarnya ibu pengen berobat, tapi nggak punya uang.” Ibu itu menyentuh pipi kirinya dengan tangan kanannya.

“Nggap apa-apa kok Bu. Biar Vivi liat dulu ya...” Perempuan yang ternyata bernama Vivi mengajak kembali ibu itu untuk membuka mulutnya.

Akhirnya sang ibu dengan malu-malu membuka mulutnya. “Oh... iya. Gpp... ibu maaf memang gigi bagian kiri ibu sudah rusak... hmm... Memang lebih baik untuk dicabut seluruhnya dan kemudian dipasang gigi tiruan.” Vivi berusaha menyampaikan kondisi gigi sang ibu dengan hati-hati.

 

Dahi sang ibu terlipat, “Iya neng... inginnya ibu seperti itu. Ini salah ibu juga dari kecil nggak pernah diurus gigi ibu. Malah ibu baru gosok gigi saat SMA. Haduh gimana ya neng... katanya ganti gigi itu mahal sampai 4 juta. Ibu nggak punya uang, kepake buat anak-anak sekolah.”

“Oh...” Vivi hanya bisa memahami kondisi ibu. “Tapi coba aja di Rumah Sakit di tempat Vivi belajar bu, di sana lebih murah daripada di tempat lain. Apalagi kalau ibu mengganti gigi ibu seluruhnya bisa lebih murah lagi daripada mengganti satu persatu.”

“Iya neng, malu ini juga. Apalagi ibu teh suka ngisi pengajian. Jadi suka nggak pede... salah ibu ini.”

“Ya udah gpp bu. Ibu ambil hikmahnya saja. Kan ibu bisa ngasih tau ke putra-putri ibu untuk menjaga giginya sejak kecil,” Vivi mencoba menyemangati sang ibu.

Maryam yang sejak tadi menyimak obrolan itu mengangguk-angguk. Sesekali ia mengetuk-ngetuk giginya dengan jari telunjuknya. Harus dirawat nih gigi... katanya dalam hati, kalau enggak nanti rusak, dan kalau udah rusak harus dicabut semuanya, dan diganti yang baru...

Vivi kemudian meminta nomor HP sang ibu agar kemudian bisa dirujuk ke dokter yang bisa menanganinya. Ia tersenyum kepada sang ibu, dan mengambil air mineral di sampingnya. Kerongkongannya terasa dahaga setelah melayani 30 warga sejak jam 8 pagi. Ia mengambil nafas sejenak... pikirannya kemudian monolog: alhamdulillah bisa banyak belajar dari warga di sini dan bisa berbagi kepada orang-orang.

Tibalah giliran Maryam dan Zahra. Maryam membiarkan adiknya diperiksa duluan. Karena ia bisa melihat mimik wajah Zahra yang tampak bersemangat sekali. Berbeda dengan sang ibu yang malu-malu memperlihatkan giginya, Zahra tanpa diminta langsung nyengir menampakkan giginya kepada Vivi. Vivi tertawa melihatnya.

“Halo adik kecil, namanya siapa?” Dengan wajah tersenyum Vivi menyapa Zahra.

“Aku bukan anak kecil lagi. Aku udah besar. Bentar lagi sekolah. Namaku Zahra, dan ini kakakku, namanya Kak Maryam.” Kali ini Zahra menjawab agak berbeda dari kebiasaannya, karena ia tidak mau dibilang anak kecil.

Vivi masih tersenyum. Otot pipinya tertarik ke atas, sementara matanya yang dibalut lensa berbingkai menyipit. “Zahra... wah senang bisa ketemu Zahra dan Maryam. Nah, kakak namanya Vivi. Salam kenal...” Binar mata Vivi menatap kedua kakak beradik itu. “Zahra duluan ya...? Ya udah sekarang buka mulutnya lagi.” Vivi membuka mulutnya meniru apa yang dilakukan Zahra sebelumnya.

“Emangnya Zahra ada yang sakit ya giginya?” Tanya Vivi.

“Nggak Kak. Cuma mau diperiksa aja.” Balas Zahra.

“Oh gitu... gosok giginya teratur ya?”

“Iya. Ummi bilang Zahra dan Kak Maryam harus gosok gigi habis makan. Kalo nggak nanti banyak kumannya.”

Vivi mengambil alat periksa yang menyerupai cermin kecil bergagang. Sebelumnya alat tersebut dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol dan kapas. Ia memasukkan alat itu ke dalam mulut Zahra. Mengecek gigi sebelah kiri dan kanan, sebelah atas dan bawah.

“Hmm... bagus. Tinggal nanti sikat giginya sampai ujung ya supaya bersih,” Vivi menunjuk kedua pipinya dengan telunjuk tangan kanan dan kirinya. Zahra nyengir dan mengucapkan terima kasih kepada Vivi.

Sekarang giliran Maryam. Kakak Zahra itu cerita kalau ada satu giginya di sebelah kanan goyang mau tanggal. Tapi Maryam nggak berani mencabutnya. Ia juga belum bilang ke Ummi masalah giginya itu karena ia baru merasakan giginya goyang 3 hari yang lalu.

Setelah mendengar cerita Maryam, Vivi mengetuk-ngetuk gigi yang dimaksud dengan ujung gagang alat periksanya. “Iya betul, ini memang udah goyang dan memang harus dicabut. Soalnya nanti akan tumbuh gigi baru. Kalo nggak cepat-cepat dicabut, gigi barunya malah tumbuhnya ke samping.” Ujar Vivi.

“Kak Vivi bisa bantu nyabutnya?” Maryam menatap Kak Vivi.

“Nanti bisa dibantu sama kakak yang lain yang udah boleh nyabut gigi Maryam,” Vivi tersenyum ke arah Maryam.

“Um... ternyata bukan gigi yang rusak aja ya Kak yang harus dicabut. Giginya Maryam yang goyang ini juga harus dicabut.”

“Gigi yang rusak?” Vivi mengernyitkan dahi.

“Iya, tadi Maryam ngeliat dan ngedengerin Kak Vivi meriksa gigi ibu itu.” Maryam bersemangat.

“Oh iya. Gigi yang rusak harus dicabut dan dibuang, serta lebih baik diganti dengan gigi tiruan untuk kasus yang giginya sudah nggak bisa tumbuh dengan yang baru.” Vivi memberi edukasi kepada Maryam, “Makanya kita harus merawat dan memelihara gigi dengan gosok gigi dengan teratur dari kecil. Seperti yang Ummi kalian bilang...” Perempuan berilbab ungu itu menambahkan.

Tiba-tiba Maryam menyentuh bibirnya, “Kalo kata Ustad Zaki, bukan gigi yang rusak yang harus dibuang. Tapi sifat sifat dengki, kikir, dendam, pemarah, murung, dan malas yang harus dihilangkan. Soalnya itu sifat jelek manusia. Yang jelek harus diperbaiki, dan diganti ama yang bagus. Sifat yang bagus... kayak... hmm... Kak Zaki eh Ustad Zaki bilang kayak semangat, memberi dan menolong orang lain, dan rajin belajar...”

Jarum jam di tangan kiri Vivi menunjuk pukul 11.30. Terdengar gema bedug adzan duhur. Beberapa detik kemudian sayup-sayup takbir dan kalimat tauhid mengajak orang-orang untuk sesaat menghentikan aktivitasnya dan beralih ke wujud penyembahan yang wajib dilakukan setiap umat Islam. Awan mendung yang tadinya menyelimuti langit Sekepicung perlahan bergerak ke arah barat. Lalu berganti biru cerah... secerah hati para warga Sekepicung yang mulai bersiap untuk sholat duhur.

Vivi membuka kacamatanya, menyeka kedua matanya yang sedikit berdanau.

*****

Andai bisa ku mengulang waktu hilang dan terbuang. Andai bisa perbaiki sgala yang terjadi. Tapi waktu tak berhenti, tapi detik tak kembali. Harap ampunkan hamba-Mu ini... (Opick)

01-11, 2011

Duddy Fachrudin


No comments:

Post a Comment