Monday, December 19, 2011

Cinta & Komitmen

Alkisah 4 tahun yang lalu seorang remaja tak jelas masa depannya melangkah goyah  ke sebuah meja. Nampak di depannya ibu-ibu paruh baya berambut keriting bergigi kuning dan kelihatan pusing menyapa:

“Coba saya lihat dulu berkasnya,” giginya yang kuning memantulkan kemilau cahaya. Suing... Remaja nggak jelas masa depannya dengan cepatnya menghindar dari pantulan cahaya itu. Gayanya seperti di film The Matrix.

“Ini bu...” Remaja itu nyengir (sambil berkata dalam hati, hehe... nggak kena lu).

“Hmm... ya... ya... Hmm... Fakultas Psikologi,” ibu berambut keriting dan bergigi kuning melihat sekilas map yang diserahkan bocah yang barusan nyengir.

“Iya bu,” sang bocah membalas.

“Oke... tapi ini kenapa pilihannya Fakultas Psikologi semua?” si ibu bertanya.

“Oh... nggak ada pilihan lain. Jadi saya isi psikologi semuanya... hehe, ”  lagi-lagi bocah itu nyengir.

“Kalau gitu dicoret aja.”

“Oh... begitu ya?” pilihan 2 pun dicoret.

“Gimana kalau kamu nggak lulus?” si ibu bertanya serius. Akibatnya rambutnya semakin keriting.

“Gimana ya... (garuk-garuk) saya pasti lulus bu, hehe... Kalau nggak lulus, saya jualan gigi ibu aja...”

Nggak usah ketawa. Nggak usah nyengir.

Itu cerita waktu saya daftar PMB Unisba 4 tahun lalu. Ceritanya gitu ya? Ya enggak lah... hehe.

Tapi yang jelas saya cuma milih Fakultas Psikologi. Nggak ada pilihan lain. Hmm... tapi kalo disitu ada pilihan Dian Sastro, saya pasti nyantumin dia. Hehe...

Saya sebenarnya bingung kenapa milih psikologi. Kenapa juga milih psikologi... Padahal ketika kuliah tidur mulu (apalagi kalo dosennya nggak enak ngajarnya). Mata kuliahnya? Waduh... buset apa itu id, ego, superego, anima, animus... bla bla bla...? Serius saya nggak pernah tahu sebelumnya. Tokoh semacam Freud, Skinner, Maslow apalagi. Dan ketika SMA nggak pernah sekalipun nyantumin Psikologi di lembar jawaban try-out SPMB.

Lalu kenapa milih psikologi dan meninggalkan kampus gajah? Suka. Dan sepertinya emang udah disuruh ama Allah masuk Psikologi, hehe.

Dan kini waktu pun berlalu.

Nilai-nilai oke. Semester depan insya Allah lulus (walau ngaret, hehe). Enjoy tanpa beban. Stres... iya juga, tapi dinikmati. Pernah sakit parah, di semester 2, 4, dan 5, tapi masih tetap senyam senyum. Mulai menangani kasus sejak semester 5 (amatiran), dan profesional di semester 6. Ketemu banyak klien rupa-rupa: dari anak-anak nggak mau diem ampe nenek-nenek nggak waras. Nulis buku aneh, dan lain-lain yang sulit disebutkan satu per satu.

Sukses? Hmm... bisa.

Bahagia? Hmm... juga bisa.

Oke sekarang kita beralih pada seorang yang kekar bernama Umar bin Khattab preman pasar. Tidak ada yang takut padanya. Nabi pun harus waspada karena Umar ingin membunuhnya. Namun, Umar luluh dengan lantunan Thaha Fatimah adiknya. Seketika Umar jatuh cinta. Bergegas ia mencari Muhammad. Tidak. Bukan untuk membunuh. Melainkan mengucapkan sebuah janji.

Dan Umar pun menjadi salah satu awwalul muslimun terpenting. Surga, sudah jelas menjadi tempat abadi baginya.

Sukseskah Umar? Hmm... ya.

Bahagiakah Umar? Hmm... tentu.  

Cerita saya jangan disamakan dengan Umar. Tapi dua-duanya punya kesamaan. Apakah itu? Silahkan pikir... Kalau mau gampang ya lihat judulnya aja: Cinta dan Komitmen.

Nah... Cinta dan Komitmen. Lantas mana dulu yang hadir. Di mana-mana juga Cinta dulu, right? Mana ada orang yang mau menikahi orang yang tidak dicintainya (walaupun ada, silahkan baca “Catatan Hati Seorang Istri”-nya Asma Nadia). Dari dua cerita di atas pun Cinta dulu yang hadir. Lantas kemudian Komitmen. Saya hanya memilih psikologi. Itulah komitmen saya, sehingga saya sekarang merasa sukses dan bahagia kuliah di Fakultas Psikologi. Sedangkan Umar mengucapkan dua kalimat syahadat. Itulah janji setia Umar. Ia pun komit membela Islam. Pantaslah Umar diganjar surga.

Cinta dulu, lalu Komitmen. Dan jatuh cinta Umar nggak pake lama. Setelah mendengar Thaha dari Fatimah langsung komitmen. Nggak pake lama. Sekali lagi nggak pake lama. Setelah mengucapkan komitmen Umar belajar, pembinaan, bimbingan sama Nabi bareng sahabat-sahabat lainnya.

Saya yang bodoh pun begitu. Setelah yakin dengan pilihan psikologi satu-satunya serta komit untuk menjalaninya, maka memulai pembinaan dengan dosen. Diskusi, bertanya sana sini. Ikut seminar dan pelatihan hipnoterapi.

Cinta dulu, lalu Komitmen... dan setelah itu cintanya dilanjutkan. Cinta di awal nggak pake lama. Hehe... jatuh cinta sebentar – komitmen – pembinaan dan kemudian jatuh cinta sepuasnya. Ternyata ini rumusnya. Rumus dari para sahabat nabi. Jadi perlu diikuti.

Tentu saja berlaku dalam membangun tim bisnis, meng-coach orang, sampai nikah.

 

Iseng-iseng Nulis, jam 1 pagi, 12 Sept 2011

Duddy Fachrudin

NB: ini tulisan nggak serius. Kalo mau serius silahkan baca kitab “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” hehe..

No comments:

Post a Comment