Wednesday, December 22, 2010

Menanti 2011

November-Desember 2010
Dua bulan terbaik yang pernah hadir
Alhamdulillah

Proses, keberanian, keikhlasan, kepasrahan bercampur menjadi satu. Keikhlasan menjadi hal yang benar-benar saya rasakan saat-saat akhir tahun 2011. Ikhlas... benar-benar diuji keikhlasan seluruh tubuh dan pikiran, serta jiwa saya.

Ini semua tentang masa depan. Yaitu 2011. Ya, satu tahun ke depan. Tahun yang saya tunggu-tunggu. Tahun di mana periode baru setelah 2004 dan 2007. Tahun 2004 ketika saya masuk ITB, 2007 ketika saya mengambil keputusan keluar dari ITB dan masuk Psikologi, dan 2011 di mana saya (insya Allah) wisuda dari Psikologi.

2011... periode baru dalam kehidupan saya, di mana saya harus sudah matang dari berbagai aspek, di mana saya harus sudah siap dengan kehidupan baru.

2011... tahun di mana saya sudah harus lepas secara finansial dari orang tua. Tahun di mana saya memperjuangkan Alpha Habits Institute dan Keluarga Besar Rumah Impian Indonesia.

2011... tahun di mana (insya Allah) buku kedua saya terbit (Tiga Serangkai). Tahun di mana saya harus lebih produktif lagi dalam menulis. Ya, minimal 2 buku lagi harus saya tulis. Kemungkinan 1 fiksi dan 1 non-fiksi. Dan terbit. dan best-seller.

2011... tahun di mana punya rencana besar. Rencana akan event akbar, teragung dalam hidup saya. Kuatkan tekad, mantapkan hati... untuk hal ini, mitsaqan ghaliza, ya Rabb.

Oleh karena itu saya hanya ikhlas. Saya hanya pasrah. Khususnya yang terakhir.

Saya ikhlas... saya pasrah.


Bumi-Nya, 22-12-10 

Friday, February 26, 2010

Bang Gratis Ya...

Saya baru saja menemukan RAHASIA orang-orang sukses! Apa itu rahasianya? Silahkan baca lebih lanjut…

Ini berawal dari beberapa jam, hari, atau minggu yang lalu di mana saya mendapatkan pengalaman setelah mengikuti Basic & Advance Clinical Hypnotherapy yang diselenggarakan IACH. Banyak teman-teman saya yang mengetahuinya, sehingga mereka penasaran dengan ilmu yang saya dapatkan di kedua seminar tersebut. Beberapa dari mereka ada yang mengatakan, “Bang, hipnotis aku dong… supaya semangat belajarnya.” (maksudnya hipnosis bukan hipnotis). Terus ada juga yang berkata, “Bang Dud, ajarin dong gimana caranya menghipnosis orang!”

Untuk yang pertama saya memang memberikannya (apalagi saya butuh latihan), dan alhamdulillah teman-teman saya yang dihipnosis atau lebih tepatnya dihipnoterapi untuk human achievement dapat merasakan pengaruhnya pada perkuliahan mereka. Belasan teman saya dihipnoterapi, di manapun mereka mau (karena saya belum punya tempat, hehehe…) dalam selang 2 mingguan setelah mengikuti Advance. Ada beberapa dari mereka yang bilang, “Bang, bayar nggak?”. “Nggak usah, masih gratis asal yang serius dan diniatkan untuk berubah,” kata saya.

Sementara yang kedua, saya lebih merekomendasikan untuk mengikuti trainingnya yang diselenggarakan oleh provider-provider training, karena saya pun belum berhak mengajarkannya, walaupun saya bisa. “Mahal Bang, jutaan bayarnya… kalo baca buku aja saya nggak ngerti,” kata teman saya. “Oke, saya ajarin… tapi mau bayar berapa?” Tanya saya. “Ya udah bang nanti aja lagi, hehe…” 

Kemudian, sekarang setelah saya buka klinik, banyak teman-teman yang ingin diterapi seperti merampingkan badan, untuk perkuliahan (supaya semangat), fobia, percaya diri dalam presentasi, dan sebagainya. Dan semuanya berkata, “Kang bayar nggak… gratis aja ya, atau diskon deh… harga teman.” Waduh, kata saya dalam hati. Padahal biaya untuk terapinya saja sangat murah, tapi kok masih ada yang “Kang, gratis ya…”

Mengenai fenomena ini, saya jadi teringat message yang ditulis pakar marketing, Ippho Santosa. Berikut tulisannya yang berjudul “Harga Suatu Ilmu”:

Ketika dulu saya belajar intens kepada mentor-mentor saya, tidak pernah sekalipun saya mengatakan “Pak, boleh saya minta buku Bapak? Gratis? Boleh saya minta tiket seminar Bapak? Gratis?” Tidak pernah sekalipun saya begitu.

Kenapa? Pertama, saya menghormati diri saya sendiri. Saya entrepreneur. Katakanlah, saya tidak mampu. Tetap saja, saya tidak mau minta-minta. Karena itu sama saja saya merendahkan diri layaknya pengemis. Kedua, saya menghormati dia dan ilmunya. Segala sesuatu itu ada harganya. Coba hitung, berapa waktu dan sumber-sumber yang telah ia habiskan untuk menghadirkan buku dan seminar itu.

Ketiga, saya tahu persis buku itu bukan miliknya. Buku itu adalah milik penerbit dan toko buku sepenuhnya, di mana penulis hanya dapat royalti biasanya maksimal 10%. Itu pun dipotong pajak. Bahkan, kalau penulis ingin mendapatkan buku-bukunya, ia pun harus membeli dari penerbit dan toko buku. Mana ada gratisan! Begitu pula seminar, yang hampir sepenuhnya adalah hak EO.

Makanya setiap kali ada yang minta-minta, dalam hati saya langsung bergumam, “Memangnya Anda siapa? Saudara bukan, sepupu pun bukan! Mending saya ngasih pengemis beneran! Jelas!” Hehehe!

Kebetulan, training saya telah diikuti puluhan ribu orang se-Indonesia dan Singapura. Buku saya pun telah terjual ratusan ribu eksemplar. Dari sini saya menemukan sebuah pola. Mereka yang membayar, memperoleh dampak positif yang jauh lebih besar, ketimbang mereka yang tidak membayar. Kenapa? Karena mereka yang membayar itu menghormati diri, menghormati ilmu, dan menghormati mentor. Tidak percaya? Silakan tanya mentor atau trainer manapun.

Kalau suatu saat kita DIBERI alias digratisin, yah tidak masalah. (Saya pun pernah diberi tiket seminar oleh Pak Hermawan Kartajaya dan buku oleh Pak Andrie Wongso.) Namun pastikan kita tidak berperangai layaknya pengemis, suka minta-minta. Lazimnya, mereka yang suka minta-minta malah tidak mendapatkan apapun, kecuali mendapatkan pandangan remeh oleh orang lain.

So, mari kita hormati diri kita masing-masing. Sip?

Saya sangat sepakat dengan Mas Ippho. Dan semoga Anda dan saya (juga, hehe… maklum masih ada sindrom “gratisan”) bisa seperti yang dikatakan Mas Ippho. Jadi apa RAHASIA orang sukses yang siap berubah untuk kehidupan yang lebih baik baginya? Ya, Anda sudah tahu jawabannya!


Salam Impian,

Duddy Fachrudin CHt—Empowerment & Human Achievement Specialist Hypnotherapist