Sunday, December 4, 2011

Cinta, Impian, dan Perjalanan

Ada apa denganmu? Ada apa dengan langkahmu?

Bukankah ini yang kau inginkan? Bukankah ini yang kau impikan?

 

Berbulan-bulan dirimu menari di atas duri yang tajam. Kini sudah saatnya kau melenggok mesra di atas permadani.

Beriuhkan senyum dan tepuk tangan orang-orang. Dan pastikan suara kelam itu hilang.

 

Beberapa hari lagi malaikatku. Beberapa hari lagi...

Karena itu bantu aku terbang dengan sayapmu. Sembari meneduhkan diri di istana awan.

 

Beberapa hari lagi impianku. Beberapa hari lagi...

Karena itu tunggulah aku. Aku baru bersiap dengan ransel dan sepatuku.

(Menanti Awal Pendakian, Suatu hari di 2007)

Kereta

Kamis siang itu aku bersama temanku menuju stasiun. Kami menyapa wanita gerbong, lalu kemudian duduk di 10 A dan 10 B. Argo-Parahyangan mulai bersiul... lambat laun rodanya menari di atas rel. Kereta berangkat dengan tujuan Gambir, Jakarta. Mengantar kami mengikuti sebuah pelatihan. Jakarta... Aku berucap do’a. Semoga perjalanan baik-baik saja.

Kalau ada yang mengatakan aku bahagia saat itu adalah sebuah kebohongan besar. Bahkan bagian diriku yang mencoba menghiburku tak kuasa pada bagian diriku yang merenung sepanjang perjalanan. Dan aku memilih yang kedua dengan menghadapkan wajahku ke jendela; melihat sawah, jurang, realita, serta anak-anak yang bermain bola. Mereka asik bermain. Bebas. Bahagia. Tertawa. Seperti saat aku kecil yang menyepak kulit bundar setelah ashar sampai maghrib. Tapi kini aku bukan mereka atau aku kecil. Aku kini adalah aku yang ada di kereta dan termenung. Itu saja.

Aku masih terlelap dalam renungan. Mengabaikan petugas yang menawarkan nasi goreng dan minuman. Dalam renungan terngiang-ngiang sebuah lirik yang sering aku dengar dalam dua minggu ini:

Love is so funny when you get hurt and you're starting to laugh 

just standing alone now figuring why everything was going so fast

and all you've wanted was someone and love will take care for the rest

like I can do...like I want to...for so long...

Saat itulah tiba-tiba terlintas untuk melakukan solo avonturir. Petualangan sendiri bersama raku--ransel kuningku atau Nordwand 30 liter-ku. Rencana awal tentu saja ke Timur. Aku bisa ke Jogja, Semarang, Solo, sampai Surabaya. Aku bisa melakukannya semester ini, karena aku hanya mengerjakan skripsi. Petualangan seminggu! Atau bahkan lebih... menjauh dari Bandung yang nyaman dan melepas kepenatan.

Aku juga memikirkan untuk meninggalkan Bandung seusai kuliah. Aku butuh kehidupan yang lebih keras lagi. Aku sudah mempersiapkan rencana dan komitmen untuk bergabung dengan salah satu lembaga training dan konsultan terbesar di negeri ini. Tentunya aku akan banyak belajar. Ya!

Aku terjaga dari lamunan saat Argo-Parahyangan menyapa Cikampek. Saat itu pukul 16.45-an. Kemudian berdikusi ringan dengan temanku; seputar buku yang ia baca dan juga rencana petualanganku. Tak lama kemudian gerbong-gerbong menyentuh Bekasi. Dan pukul 18.15 tepat, Jatinegara menampakkan wajahnya yang disinari senja sore. Kami turun sembari mengucap syukur. Dan angin Jatinegara menyambutku dengan membisikkan kata-kata: kamu akan bahagia, percayalah


Jakarta

Kotak-kotak teka-teki

Masih kosong tak berisi

Berulang kali, aku menyeru

Yang datang terus debu

O, cinta yang dilanda kemarau

Adalah luka dalam mimpi kemilau

: sempurnalah kesunyianku!

(Toto ST. Radik)

Sepertinya aku butuh sepatu lapangan. Supaya nyaman saat bertualang. Itulah yang aku pikirkan saat berjalan menuju sebuah kawasan di Jakarta Timur. Selain temanku, kami bertemu seorang kawan. Ia kawan temanku yang juga ikut pelatihan. Jadilah kami bertiga bertualang, layaknya mujahid perang.

Sesampainya di daerah sekitar Pisangan, aku langsung istirahat. Sebelumnya sholat, makan, memandang malam dan kolong jembatan, serta menyapa dan menjawab seorang teman via short message service. Aku pun berusaha menulis atau membaca karangan, namun temanku sudah terlelap. Jadilah aku ikut berbaring di sebuah lantai di atas warung internet. Lampu dimatikan. Aku termenung perlahan tentang cinta tanpa syarat. Cinta tanpa syarat... lalu aku terlelap panjang.

Fajar pagi mulai menyapa langkah kaki kami bertiga. Aku perlahan mulai tersenyum menampakkan wajah bahagia. Apalagi ini Jum’at, hari tersuci dalam Islam. Maka aku menyambutnya dengan cinta. Meskipun semua orang tahu sendiri, Jakarta pagi; siap-siaplah dengan ledakan mobilisasi orang, kemacetan, serta polusi.

Terminal busway sesak penuh orang. Seorang perempuan berkata, “Permisi... permisi... ,” yang lainnya mendorong-dorong. Namun ada juga yang santai sambil mendengarkan sesuatu di earphone-nya. Inilah Jakarta pagi. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka melangkah cepat mengejar waktu demi menjemput materi. Namun sayang, kesannya sendiri-sendiri, tanpa sapa, tanpa empati.

Kami berhenti di masjid Agung. Sebuah kesalahan, karena harusnya turun di terminal sebelumnya. Jadilah kami jalan ke senayan. Sesampainya di senayan, kami masih harus mencari tempat pelatihan. Di manakah gerangan? Tubuhku diusap debu jalanan serta knalpot jalanan. Menyatu dengan keringat yang bercucuran. Tak lama setelah tanya sini tanya situ, kami, tiga sekawan sampai di tempat tujuan.


Pelatihan

Sebentuk pelangi yang menemani

Dialah perempuan bidadari

(sebuah tulisan dalam “Perempuan Bidadari”)

Aku salah satu dari 900-an peserta dalam pelatihan. Kami semua masuk dengan berlari, layaknya pemain football america ketika masuk lapangan. Iringan musik menemani senam pagi. Membahana luar biasa layaknya orkestra. Sang pelatih muncul. Ia lebih pendek dariku, namun sangat berenergi. Aku terkesima takjub dengan penyampaiannya. Keren. Inilah pelatihan terbesar yang pernah aku ikuti.

Saat sesi latihan aku bertemu seorang guru dari Bandung. Pertama kali yang ia katakan adalah, “Masih lajang?” Haha... aku mengangguk. Ketika aku mengatakan aku dari Psikologi Unisba, ia berucap tentang seorang dosen. Aku kembali mengangguk, mengenalnya. Ia adalah salah satu dosen yang aku kagumi, karena pembawaannya lincah. Tiga kali aku dibimbing oleh dosen itu. Terakhir saat semester ganjil yang lalu. Dan aku diberi A.

Saat berjalan hendak sholat Jum’at aku bertemu lagi dengan guru itu. Tiba-tiba aku melihat sebuah tulisan pada jaket yang dikenakannya. Sebuah identitas yang menunjukkan nama sekolah tempat ia mengabdi. “Bapak berarti mengajar... ?” aku langsung menanyakannya. Dan ia mengangguk. Pantas saja ia menanyakan kepadaku tentang sang dosen, karena kedua anak sang dosen itu diajar olehnya. Aku mengenal salah satunya. Pertama kali aku mengenalnya saat ia bertanya Statistika. Ah... tiba-tiba aku jadi bersemangat, melupakan lamunanku di kereta kemarin. Kebetulan? Aku tak tahu... karena aku juga tak ingin membahas teori itu lagi. Tapi yang jelas, terik matahari menjadi saksi kebahagiaanku saat itu.

Kamu akan bahagia, percayalah... Bisikan angin Jatinegara kembali mengelus kedua telingaku.

 

...to be continued

Istirahat setelah bertualang... Senin, 21 Februari 2011

Duddy Fachrudin


No comments:

Post a Comment