Tuesday, May 27, 2008

menghapus bayangan

ah kenapa bayang-bayang itu terus bermunculan
menghamburkan segala hal tentang kita
menanggalkan kewarasanku
melucuti akal pikirku

aku tak mau
dan memang jiwaku memerintahkan ini
mulutku juga terus berkomat-kamit:
pergi sana!

suatu malam yang tidak terlalu malam, 08
 

Monday, May 26, 2008

Saturday, May 17, 2008

like my bike like me

Bersepeda dapat menurunkan resiko terkena penyakit akibat kurang gerak (hipokinetik), seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes, osteoporosis, lemah dan kaku otot, serta obesitas. (Bersepeda: sehat, kuat, dan nikmat)

Maraknya kendaraan bermesin menyebabkan sepeda agak terpinggirkan sebagai alat transportasi bagi manusia. Namun, hal tersebut kini tidak lagi. Kondisi bumi yang sudah semakin rusak akibat gas buangan yang ditimbulkan motor maupun mobil sangat berpengaruh terhadap kestabilan alam ini. Gerakan-gerakan “save our world” pun diteriakkan. Global warming menjadi isu terhangat tahun 2007, dan upaya-upaya pencegahannya pun dipersiapkan.

Salah satunya tentu saja bersepeda dalam menjalani aktifitas kita sehari-hari. Mau ke kantor, kuliah, sekolah, belanja bagi ibu-ibu atau sekedar jalan-jalan, sepeda menjadi sebuah solusi yang jitu mengatasi global warming ini. Ya, kita harus mulai memikirkan alam ini agar jangan sampai anak cucu kita yang mendapatkan getahnya akibat penggunaan kendaraan bermotor yang berdampak buruk pada bumi yang sedang kita pijak ini.

Saya tidak ingin berbicara lebih lanjut tentang kerusakan alam. Tapi kini saya akan bercerita tentang sepeda saya. Namanya Abe. Singkatan dari Alangbike. Sudah hampir setengah tahun ini saya bertualang dengannya. Berawal dari kebutuhan akan kendaraan yang dapat membawa saya beraktifitas sehari-hari, seperti kuliah dan berorganisasi. Lantas saya memutuskan membeli sepeda. Murah, sehat, dan bebas polusi.

Pertama, murah. Coba bandingkan berapa pengeluaran saya jika saya menggunakan sepeda dan angkutan umum. Saya memperkirakan bisa menghemat pengeluaran untuk transportasi sekitar 150-200 ribu/ bulan jika saya menggunakan sepeda. Kedua, sehat. Jelas saja tubuh menjadi terasa enak digerakkan, karena kita senantiasa bergerak. Ada sebuah penelitian yang menujukkan bahwa satu jam bersepeda (21 km/jam) dapat membakar lemak hingga sebanyak 612 kalori. Efeknya, berat dan bentuk tubuh pun menjadi ideal. Ketiga, bebas polusi. Ini dia yang paling penting. Kita harus mulai mencontoh orang-orang Eropa yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Kesadaran mereka tentang planet ini sangat tinggi. Ayo bersepeda!

Akhir April 2008, Abe mulai kelelahan membawa saya. Terbukti dari karet rem yang menipis, rantai yang bunyi “srek.. sruk..” dan pentil ban depan yang rusak. Saya kemudian memperbaikinya satu persatu.

Suatu malam saya pulang menuju kostan. Di tengah jalan saya merasakan kalau ban depan sepeda saya bocor. Lantas saya membawanya ke tukang tambal ban. Setelah diperiksa, ternyata bukan ban yang bocor, melainkan pentilnya yang rusak. Tukang tambal ban itu tidak bisa memperbaiki atau mengganti pentil yang rusak. Kejadian ini membuat saya sementara tidak memakai sepeda dulu sekaligus “istirahat” (capek loh naik sepeda) dari bersepeda. Baru seminggu kemudian saya membawanya ke bengkel motor dan sepeda tidak jauh dari kostan. Alhamdulillah, ada pentil yang bisa dipakai untuk mengganti yang rusak. Saya dan Abe pun beraksi lagi.

Masalah pentil selesai. Namun, setelah itu laju Abe pada trek menurun tidak bisa dibendung. Karet rem Abe sudah aus. Pernah suatu pagi saya berangkat kuliah dengan terburu-buru mengejar waktu agar tidak terlambat. Saya tidak mempedulikan kondisi Abe yang sudah tidak bisa di rem lagi. Ketika jalanan menurun, saya benar-benar tidak bisa menghambat lajunya. Tampak di depan kiri saya ada penjual bubur ayam dan gerobaknya dan di sebelah kanannya motor yang melaju dengan lambat. Jalanan tidak lebar. Jantung saya berdebar-debar. Adrenalin meningkat. Pikiran saya sudah menyatakan bahwa Abe akan menabrak salah satunya. Wuush… saya dan Abe sangat tipis sekali berhasil lewat di tengah-tengah keduanya. Pfuh… gila benar. Orang-orang sekitar pun pada saat itu memperhatikan saya dan Abe. Untunglah…, hati saya bersyukur.

Saya mencari jadwal yang kosong untuk mengantar Abe ke “rumah sakit” agar di servis dan diganti karet remnya untuk yang pertama kali. Bengkel-bengkel khusus sepeda sendiri hanya ada di daerah-daerah tertentu. Dan yang terdekat adalah Kosambi. Disanalah toko-toko dan bengkel sepeda bertebaran. Selasa, 13 Mei, saya memutuskan untuk mengantar Abe ke salah satu bengkel yang ada disana. “Coba aja ke Tenda Biru di Kosambi,” ujar salah seorang temanku yang juga memakai sepeda ke kampus.

Hari itu tidak terlalu panas. Saya dan Abe menuju Tenda Biru, tentunya dengan sangat hati-hati sekali. Kaki kiri saya biarkan turun menyentuh aspal agar bisa berfungsi sebagai rem. Selain itu saya juga mencari jalan yang tidak terlalu ramai, walaupun harus berputar-putar.

Sampailah di Tenda Biru. Saya langsung meminta ke “para ahli” disana untuk mengganti karet rem. Namun, ternyata setelah melalui pengecekan, salah seorang ahli mengatakan bahwa karet rem saya masih bisa bertahan satu bulan lagi. Kemudian dia mengatur posisi karet rem agar dapat berfungsi dengan baik. Tidak hanya karet rem yang diperiksa, dia juga mengecek rantai yang sudah “kering”. Akhirnya dia beri “oli” untuk rantai Abe. Bunyinya pun tidak lagi “srek… sruk...” Saya sangat memperhatikan bagaimana Abe “diobok-obok” sama ahli sepeda yang satu ini. Selesai. Saya membayar 7 ribu perak untuk servis Abe. Dan kemudian saya bisa “ngebut” lagi di jalanan.

“Diri kita ibarat sepeda, harus senantiasa di perbaiki jika sudah saatnya…” (alangnemo)

Pengalaman pertama tersebut membuat saya berhipotesis kalau Abe harus selalu di servis sekitar empat/lima bulan sekali. Lalu bagaimana dengan saya? Tak dipungkiri, sebagai manusia banyak sekali kesalahan-kesalahan yang disengaja maupun tidak dari diri saya pribadi. Malas, mudah marah, atau berbuat maksiat merupakan gejala-gejala yang menunjukkan bahwa tubuh yang saya bawa ini harus dibawa ke bengkel. Tujuannya tidak lain mengembalikan tubuh ke dalam performa yang maksimal, sehat dan bersih dari perbuatan dosa.

Sering tidak kita sadari diri kita sudah “lepas kendali”. Mata dibiarkan melihat yang bukan semestinya. Lidah berucap yang jelek. Kaki tidak melangkah ke masjid. Atau hati merasa dengki kepada orang lain. Ah, ada apa dengan tubuh kita ini?

Secepatnya lah sadar jika kita merasa mengalami hal-hal seperti itu. Jika dibiarkan, iman akan semakin turun menjauhkan kita dari Allah SWT. Banyak cara untuk menservis tubuh kita kembali menuju jalan yang lurus. Jalan yang senantiasa menuntun akhlak kita menuju akhlakul karimah.

Layaknya Abe dan pemiliknya. Sama saja. Performa lahir maupun batin diri saya tidak dipungkiri naik dan turun. Dan jika performa saya sedang turun itu berarti sudah saatnya di-charge kembali. Ya, saya atau anda pastinya sangat merasakan itu. Dan ketika menyadari hal tersebut saya harus keluar dari keterpurukan. Salah satunya dengan mendengarkan ayat-ayat Qur’an dan mentadabburinya. Dan saya merasakan perbedaannya. Pikiran dan hati terasa lebih jernih. Motivasi bertambah. Dan Allah pun sangat terasa dekat.

Nabi bersabda: setiap anak adam pasti bersalah. Yang terbaik dari orang-orang yang bersalah itu adalah yang bertaubat. (HR Tirmidzi). Ya, taubat berari kembali. Kembali menjadi seorang manusia yang siap mempersembahkan karya yang terbaik untuk kehidupannya juga orang-orang dan lingkungan di sekitarnya. Let’s make the best out of our lives!

Bagaimana dengan anda?


avonturir to my best life

15Mei’08

copyright@alangnemo, 2008

Wednesday, May 14, 2008

met a stranger

Bukuku.. Hatiku..

Habis sholat dhuhur saya seperti biasa mencari makan demi memenuhi tuntutan perut. Dan yang dituju tidak lain adalah warung tegal (warteg) yang murah meriah di dekat kampus, seputaran jalan Tamansari.

Tempatnya emang nggak adem. Sedikit gerah kalau nggak dapet tempat makan di dekat pintu masuk warteg. Tapi setidaknya menunya dapat mengenyangkan perut. "Bu, pake bala-bala, udang dan tahu," itu saya me-request menu pada ibu warteg. Ya, beginilah makan ala anak kost sekaligus penulis yang sedang berusaha menerbitkan buku ke satunya (insya Allah) dan trainer avonturir yang selalu ingin berbagi inspirasi kepada semua orang.

Saya tidak ingin membahas makan dan warteg. Tapi apa yang selanjutnya terjadi setelah saya keluar dari warteg dengan membayar 4 ribu perak untuk makan siang saya. Jadwal saya selanjutnya adalah mencari referensi untuk jurnal ilmiah saya tentang motivasi belajar dan self efficacy di perustakaan. Namun, belum jauh saya melangkah, saya menemukan tempat persewaan buku yang sepertinya baru berdiri di sebelah warteg. Namanya d*Cine. Aneh juga namanya. Lantas saya pun masuk melihat-lihat koleksi buku di tempat tersebut.

Baru juga saya mau lihat-lihat, tiba-tiba saya langsung disambut oleh penjaga persewaan buku itu. Tapi yang membuat saya heran dan terkejut adalah, penjaga itu seorang perempuan berjilbab dan umurnya mungkin hampir sama dengan saya. Itu hipotesis awal saya bertemu dengannya. Kemudian kami berdua mengobrol seputar buku, terutama komik karena di tempat itu komik mendominasi rak-rak yang ada.

Sudah lama juga saya nggak baca komik. Salah satu komik yang masih terus saya baca adalah Detektif Conan. Itu pun karena saya mengoleksinya. Komik-komik lain putus di tengah jalan, seperti: One Piece, Shanaou Yoshitsune, The Pitcher, QED, dll. Melihat komik-komik yang ada di tempat itu, saya jadi ingin melanjutkan petualangan-petualang saya lewat One Piece dan teman-temannya itu.

Kalo anda suka yang namanya komik, sebenarnya udah ada persewaan komik yang sangat lengkap dan bagus di Bandung, yaitu Comic Corner di jalan Pager Gunung. Saya juga jadi member disitu, tapi sudah nggak lama menyambangi tempat itu lagi. Apalagi keanggotaan saya harus diperpanjang dan tentunya harus keluar duit lagi.

Saya kemudian memutuskan untuk jadi member di d*Cine sambil melanjutkan obrolan dengan perempuan berjilbab tersebut. Entah siapa namanya, tapi yang jelas karena saya tertarik ama yang namanya persewaan buku or toko buku, saya menanyakan pemilik d*Cine. Biasanya untuk mendirikan bisnis taman bacaan, orang-orang pada patungan buku  agar buku yang terkumpul menjadi banyak. Tapi untuk yang satu ini tidak. Setelah bertanya-tanya, penjaga perempuan berjilbab (waduh ribet amat sih namanya) itulah pemiliknya. Dibantu dua temannya, perempuan itu membuka taman bacaan d*Cine. Sebelumnya, dia sudah membuka taman bacaan, tapi dengan nama Shimili di tempat yang berbeda, walau masih dalam daerah yang sama, Tamansari. Karena kontraknya habis, juga ada masalah dengan pemilik tempat dulunya itu dia kemudian pindah dan berganti nama. d*Cine sendiri artinya DISINI. Saya ketawa mendengarkan penjelasannya. Kirain teh naon?

Well, perempuan itu ternyata masih kuliah di jurusan Akuntasi Unpad angkatan 2003. Tuh kan apa yang saya duga ternyata betul. Wow... keren. Sama-sama masih kuliah, pencinta buku, suka komik,  menyewakan buku, berjiwa entrepreneur? Pikiran saya mengawang-awang ke masa depan (ups, masa depan yang mana nih?). Ya, memang masa depan, karena setelah itu saya menanyakan apakah saya bisa menitipkan buku atau komik saya di tempatnya. And she said ok. Kami berbicara lebih lanjut tentang penitipan buku tersebut, sampai akhirnya saya menyudahinya beberapa menit kemudian karena teringat jadwal saya.

Sedikit intermezzo tentang penitipan buku, saya sudah melakukan hal ini sebelumnya untuk buku-buku saya yang berbau agama, motivasi, bisnis dan sejenisnya di sebuah taman bacaan bernama Ureshii yang bertempat di jalan Bali (belakang SMAN 5 Bandung). Tapi untuk komik, saya masih menyimpannya, walaupun sempat beberapa hari ada di teman saya yang waktu itu membuka taman bacaan juga, namun tidak lama kemudian tutup dan tidak terdengar lagi sampai sekarang.

Hmm... sepertinya hari-hari ke depan saya dipenuhi petualangan baru bersama d*Cine dan beberapa orang di dalamnya termasuk perempuan berjilbab itu. Ada sesuatu yang berbeda yang saya rasakan disana. Terasa ngena. Dan ya, perempuan berjilbab itu adalah orang asing yang kemudian bisa menjadi partner kerja atau bisnis suatu hari nanti...


hari yang indah...
14 mei 2008

copyright@alangnemo, 2008

Self-Determination Theory

http://www.psych.rochester.edu/SDT/index.html
an approach to human motivation & personality

Monday, May 12, 2008

tv... a bad habbit

Sumber kegagalan: malas dan ketidakkonsistenan terhadap janji ...

Kalo anda termasuk yang doyan di rumah atau kostan, lebih baik menjauhi yang namanya tidur-tiduran sambil nonton TV. Ya, inilah yang harus saya hindari jika sedang berada di kostan karena bisa menimbulkan kemalasan yang akut untuk mengerjakan sesuatu yang penting, seperti tugas-tugas kuliah, kerjaan di organisasi bahkan naskah tulisan yang diminta penerbit yang bentar lagi jatuh tempoe!

Beberapa hari ini saya mengalaminya. Awalnya memang karena lelah akibat beraktivitas semacam kuliah, kerja, nikah (emangnya judul buku?). Kuliah, tugas-tugas yang numpuk dan seabrek kegiatan di organisasi sering membuat pikiran dan fisik saya lelah. Dengan alasan "refreshing" saya pun menyetel (ini bukan b. Ind) TV dan mulai merebahkan diri di kasur empuk. Tangan kanan asik memegang remote TV, kalo-kalo acara yang nggak asik bisa pindah-pindah channel yang lebih asik atau pas commercial break tat tit tut pindah stasiun TV.

Entar ah... 15 menit lagi, atau 10 menit lagi baru mandi atau memulai belajar. Tapi ucapan tersebut tak kunjung dilakukan dan bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Saya terus melanjutkan nonton TV, karena ketika acara berakhir ternyata ada acara yang tidak kalah mengasikkan untuk dinikmati. Dan saya baru selesai melakukan kebiasaan jelek tersebut tengah malam menjelang tidur. Janji-janji mengerjakan ini itu pun terbengkalai.

Ha.. ha.. ha.. manusia bodoh. Saya menertawakan diri sendiri ketika menyadari kelalaian yang saya perbuat. Tapi setelah itu saya bertekad tidak akan lagi mengulanginya karena sadar bahwa waktu kini sangat berharga bagi saya. Seperti pada ungkapan di awal tulisan ini: "sumber kegagalan: malas dan ketidakkonsistenan terhadap janji ..."

Lantas bagaimana solusinya?

Ada masalah, pasti ada solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kalo saya lebih cenderung menggunakan tempat tinggal hanya untuk beristirahat. Artinya tugas-tugas, belajar dan tetek bengek lainnya berusaha diselesaikan di luar kostan. Pulang-pulang ke kostan pukul 00.00 pagi dengan hasil pekerjaan untuk esok atau lusa yang sudah rampung, dibanding pulang lebih awal dengan mengharuskan menyelesaikan pekerjaan di kostan. Lalu kalo sedang nggak ada pekerjaan? Ya, benar. Nggak masalah kalo kita bermalas-malas ria, karena nggak ada tugas yang harus dikerjakan. Tapi nggak etis juga. Buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak penting (kecuali nonton berita: itu bagus). Menyiasati hal itu, saya lebih suka keluar bersama ABe (AlangBike) -sepeda saya berkeliling kota atau menjelajah rawa-rawa (emang pernah?). Intinya saya harus keluar dari kostan. Bisa ke toko buku, ke Dago Pakar menikmati alam atau ke event-event tertentu seperti pameran buku. Seru kan? Tapi beberapa hari ini saya jarang bepergian dengan ABe kecuali kuliah dan ke tempat-tempat yang tidak terlalu jauh dari kost. Apa sebab? Karet rem ABe belum saya ganti, jadi sangat beresiko mengendarainya, apalagi di trek berupa turunan.

Jadi, saya harus ganti karet rem ABe dan nggak boleh tidur-tiduran sambil nonton TV lagi.. Yups.. mau berhasil kan? Tepatilah jadwal-jadwal yang telah kita rencanakan!


menanti AlangBike kembali beraksi..

mei, 2008

copyright@alangnemo, 2008

Friday, May 9, 2008

avonturir: an introduction from the heart

Aku ingin pergerakan yang dinamis, bukan kehidupan yang tenang..." (Tolstoy)

Entah kenapa saya ingin curhat di blog ini. Padalah semenjak awal dibuatnya Alang Nemo's Camp, saya hanya ingin memposting artikel, esai, puisi, cerpen dan pengalaman-pengalaman khusus (avontur of avonturir) saya pribadi yang dapat diambil hikmahnya. Ya, saya ingin blog ini sebagai sumber inspirasi bagi yang membukanya. But now? Setelah saya pikir-pikir nggak ada salahnya saya mencatat pengalaman-pengalaman harian saya.

Catatan seorang avonturir. Beda sedikit dengan salah satu memoarnya mas Gola Gong, "Catatan Sang Avonturir, Menggenggam Dunia Bukuku Hatiku". Hanya kata-kata itu yang cocok untuk tag khusus catatan-catatan saya ini. Saya menyingkatnya dengan CSA.

Avonturir?

Saya memulainya dengan kata itu. Sebuah kata yang awalnya saya kira adalah kata dalam bahasa Inggris atau Prancis. Saya menemukannya dalam "Balada Si Roy", karya legendaris Gola Gong. Lalu, apakah saya memang seorang avonturir?

Masih terlalu dini menyebut diri saya seperti itu jika dilihat dari petualangan-petualangan saya yang baru secuil. Tapi saya berani menyebut saya seorang avonturir karena kesukaan saya yang suka berpindah-pindah dalam mencari ilmu dan pengalaman. Apalagi semenjak saya tinggal dan merantau di Bandung, keinginan untuk mencari pengalaman baik itu berupa soft skill maupun hard skill sangat kuat.

Tepatnya empat tahun lalu. 2004 saya diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Institut Teknologi Bandung dan Teknik Perminyakan. Itulah nama tempat kuliah dan jurusan yang saya ambil. Sebuah lahan basah yang siap mendatangkan dolar di kantong-kantong saya jika saya berhasil menguasai ilmu tersebut dan bekerja dengan baik di Chevron, Schlumberger, atau Conoco. Bayang-bayang akan kehidupan indah merasuki alam bawah sadar saya.

Saat ini banyak orang-orang yang memplesetkan ITB dengan Institut Tahi Burung atau Institut Teknologi Badung. Sebutan pertama karena sepanjang jalan Ganesha memang sumber bom molotov yang siap menimpa para pejalan kaki atau pengendara roda dua. Bom molotov tersebut adalah tahi burung! Kemudian sebutan yang kedua adalah plesetan ITB pada logo gajah ITB yang diganti dengan gambar Sinchan dengan "gajah-nya". Ada-ada aja.

Kemudian, pernah suatu saat ketika saya sedang belajar di perpus pusat, saya melihat tulisan ITB pada sebuah bangku (kursi) dengan kepanjangan Institut Tekanan Batin. Ha..ha..ha.. saya tertawa kecil.

Kejadian melihat plesetan ITB pada sebuah bangku di tingkat I tersebut ternyata benar-benar terjadi pada diri saya di tingkat II. Saya bingung dengan kuliah-kuliah yang saya hadapi. Saya mulai merasa ada ketidakcocokan antara diri saya dengan studi yang sedang saya jalani. Barulah saya kemudian mencoba mencari hal-hal tentang diri, minat, bakat, potensi dan tetek bengek seputar itu.

SMA tidak saya lalui dengan mengikuti banyak organisasi. Saya pernah ikut PA (Pecinta Alam) tapi itu hanya aktif satu tahun. Saya kemudian mengajar basket untuk almamater SMP saya. Ada kesenangan dan kepuasan tersendiri ketika berkomunikasi dengan anak-anak asuh saya. Sekitar satu tahun saya membina sekaligus menjadi bagian dari mereka. Itulah masa-masa SMA saya selama dua tahun. Selebihnya saya habiskan untuk main futsal di lapangan basket sekolah yang sering mengakibatkan kaca pecah.

Kelas tiga SMA. Saat itu pelajaran yang di-UAN-kan mulai 3 pelajaran (B. Indonesia, B. Inggris dan Matematika/ Ekonomi) dan minimal kelulusan adalah 4,00. Saya mengajak anak-anak untuk belajar bareng. Saya nggak mau ada yang tidak lulus. Bukankah kita masuk bersama-sama dan keluar pun harus bersama-sama juga? Lagi-lagi ada kesenangan dan kepuasan pada diri saya ketika mengajak mereka untuk belajar bareng seperti halnya ketika saya mengajar basket.

Dan kini, saya menghadapi dunia yang tanda tanya? Ketidakberesan saya dengan studi saya di tingkat II ini harus saya bereskan. Dan mulailah petualangan saya. Saya bermetamorfosis menjadi seorang avonturir...


Continued...

copyright@alangnemo, 2008