Monday, December 5, 2011

Cinta, Impian, dan Perjalanan (part # 2)

Pernikahan

“Wahai Ali, ada tiga perkara jangan ditunda-tunda,

apabila SHALAT telah tiba waktunya,

JENAJAH apabila telah siap penguburannya, dan

PEREMPUAN apabila telah datang laki-laki yang sepadan meminangnya.”

(HR. Ahmad)

Hari pertama berlalu. Aku mendapat relasi baru. Pengalaman baru. Serta komitmen baru tentang hidup. Jujur saja, dari seluruh materi yang diberikan di hari pertama, yang paling mengena adalah tentang KOMITMEN 100%. Mungkin karena nilai utama dalam hidupku adalah komitmen, maka hal tersebut sangat mengena di diriku.

Kami mujahid perang menuju masjid. Antrian panjang mengambil wudhu terlihat layaknya pasien ponari. Jadilah kami menyantap siomay terlebih dahulu yang juga dikerubuti manusia-manusia yang kelaparan. Seseorang memakai baju koko coklat dan celana bahan “ngatung” menghampiriku lalu bertanya, “Assalamu’alaikum... Mas ada acara apa?”

Aku yang sedang mengunyah siomay menjawab, “Wah’alaikumh...salam... Ong.. winih hada puelatihan.”

“Pelatihan apa?” Bapak-bapak berjenggot lebat mirip Bang Rhoma Irama bertanya lagi.

“Uh Teh Ha Beh... grahtis Pak. Mahkannya pehsertahnya bahnyak.” Aku bicara sambil makan siomay. Lalu setelah siomay sudah aku telan semua, giliran aku yang bertanya, “Ngomong-ngomong, ada nikahan ya Pak? Tadi saya lihat di depan pintu masjid bagian bawah di dekor untuk nikahan?”

“Iya Mas. Besok ada yang mau nikah. Bahkan besoknya lagi juga ada. Jadi hari sabtu dan minggu ini ada dua pernikahan. Mas sudah menikah?”

Tiba-tiba siomay yang siap aku makan jatuh ke tanah. “Eh... apa Pak tadi?”

“Mas sudah berkeluarga?” Bapak-bapak berjenggot lebat itu mengulang pertanyaannya.

“Oh... belum Pak. Insya Allah sebentar lagi. Do’akan aja Pak.”

“Bapak do’akan Mas semoga cepat mendapat jodoh yang baik, bahkan perempuan yang kualitasnya seperti bidadari sorga.” Bapak-bapak mirip Bang Rhoma itu kemudian beranjak pergi. Sandal tipisnya menyapu aspal senayan. Ia kemudian belok di sudut kiri jalan. Dan menghilang.

Aku menyadari teman ngobrolku telah pergi saat siomay di piringku sudah habis. Tiba-tiba kedua kawanku memanggilku. Walah... saatnya shalat maghrib. Dalam antrian aku mengingat-ingat obrolan dengan bapak-bapak itu. Bidadari sorga? Adakah di dunia yang semakin amburadul ini?

 

Bidadari Sorga

Wajahnya menentramkan jiwa

Itulah bidadari sorga.

(Bidadari sorga, 2011)

Malam kedua aku dan temanku dihabiskan di sebuah kawasan di Jakarta Selatan. Kami menginap di sebuah yayasan anak yatim dan dhuafa. Jarak dari Senayan tidak sejauh dari warnet tempat pertama kali kami menginap. Namun ada yang membuat aku tidak nyaman: tubuhku diserbu nyamuk-nyamuk lapar!

Perjalanan menuju yayasan ternyata tidaklah mudah. Penuh liku dan rintangan. Ada seorang kawan lagi yang membantu kami bertiga dalam proses evakuasi ke yayasan. Aku bersamanya di atas roda dua. Sementara temanku dan kawannya bertualang di transjakarta dan bus kota. Dua pasukan ini menuju satu medan perang: ITC Fatmawati.

Aku yang berada di atas roda dua bersama kawan yang dari Jakarta ternyata melalui perjalanan yang tidak mudah. Aku sendiri merasa melalui jalan yang sama terus menerus. Menemui polisi lalu lintas yang sama yang tidak menilang kami karena aku tidak memakai helm. Sampai suatu saat di perempatan lampu merah kawanku berkata, “Maaf saya lupa jalannya.” Siiing... , tiba-tiba saja waktu seakan berhenti.

Akhirnya dua pasukan bertemu di Blok M, dan kawanku yang mengendarai motor menyampaikan kode rahasia kepada dua temanku yang akan naik bus kota. Kode rahasia bus yang harus dinaiki supaya terhindar dari musuh! Kami pun berpisah dan berjanji bertemu di ITC Fatmawati. Waktu berselang. Aku dan kawanku sudah sampai. Namun dua temanku yang naik bus kota belum kelihatan pantat dan jambulnya (maaf bosan dengan batang idungnya, hehe). Tahukah anda kenapa dua temanku itu belum datang. Kawanku yang bersamaku mengatakan, “Waduh, saya salah memberi kode rahasianya!” Siiing... , tiba-tiba saja waktu seakan berhenti.  Akhirnya yang ditunggu nongol juga.

Sebelum menuju yayasan aku memesan ketoprak buat mengganjal perut yang berdendang. Ketoprak adalah makanan khas Cirebon. Aku tanya yang dagang, tapi ternyata ia bukan dari Cirebon, tapi Tegal. Sudah dua tahun ia berjualan ketoprak di daerah itu dan hasilnya cukup buat hidupnya di Jakarta. Ketoprak selesai dibuat, kami meninggalkan mas penjual ketoprak. Say goodbye & thanks. Yayasan kami datang!

Malam sudah pekat. Ketoprak sudah habis. Aku membaringkan badan di lantai beralas tikar, lalu berucap do’a: semoga besok bertemu bidadari sorga.  

Paginya Jakarta tampak sepi. Maklum sekarang weekend, jadi mereka semua melancong ke kota sebelah untuk berlibur: Bogor atau Bandung. Aku sendiri bingung dengan pola hidup orang Jakarta. Senin-jum’at bekerja mencari uang, sabtu-minggu dihabiskan untuk belanja dan foya-foya. Dan itu berulang setiap minggu. Shopping tiap minggu, astagfirullah. Padahal banyak orang-orang miskin butuh uluran tangan kita orang-orang kaya. Mereka yang hidup di kolong jembatan perlu kita tengok dan cium kedua pipinya. Pantas saja Allah sering menimpakan bencana kepada kita, jika hidup kita seperti ini. Tidak bersyukur atas apa yang telah diberikannya.

Setelah turun dari busway kami melangkah menuju Senayan. Temanku tiba-tiba mau “melahirkan”. Mendengar temanku mau “melahirkan”, aku berkata, “Menikah itu sama seperti “melahirkan” (buang air besar, red), nggak boleh ditahan-tahan.” Dan itulah tema obrolan kami di sepanjang perjalanan menuju tempat pelatihan di hari ke-2. Jadi jodoh itu ya dijemput, bukan ditunggu. Dan hanya laki-laki sejati yang berani menjemput jodoh (mengajak menikah kepada calon pasangan hidupnya, tanpa embel-embel pacaran, red).

Sebelum masuk wisma, temanku “melahirkan” terlebih dahulu. Aku dan kawanku menunggu di luar WC masjid. Beberapa saat kemudian ada sekumpulan orang memakai kebaya dan batik. Hmm... sepertinya ini salah satu dari dua pihak keluarga yang akan menikah hari ini. Di antara mereka ada dua gadis kecil imut berjilbab ungu. Aku memandangnya lama. Cantik sekali. Mungkin seperti inilah kecantikan bidadari sorga. Atau bahkan lebih cantik dari ini.

 

Cita-cita

Mengarungi samudera kehidupan

Kita ibarat para pengembara

Hidup ini adalah perjuangan

Tiada masa ‘tuk berpangku tangan

(Shoutul Harokah, Bingkai Kehidupan)

Aku ngantuk abis di hari ke-2 ini. Terutama saat pukul 10-an sampai menjelang sesi “jalan-jalan” ke neraka. Aku juga terasa lemas. Mungkin gara-gara nyamuk-nyamuk yayasan menguras darahku. Siangnya bukannya makan, tapi malah asik di stand buku anomali. Baca-baca. Ngobrol-ngobrol sama yang jaga stand. Lalu... beli. Sebenarnya aku beli buat dikasihkan ke seseorang. Ia minta souvenir, tapi aku beliin buku. Yah, buku lebih penting daripada souvenir. Lagian itu buku unik, nggak ada di toko buku.

Sesi “jalan-jalan” ke neraka membangunkan tidurku. Parfum mayat di kain kafan menyayat urat nadiku. Aku tak berdaya. Aku seperti mau mati saja. Seluruh peserta meraung kesakitan. Lumpur nanah panas menohok tenggorokanku. Aku mau muntah. Namun entah kenapa aku terus meminumnya. Aku diceburkan ke panci berisi lahar. Dagingku matang. Tulangku mencair bak lilin yang meleleh. Aku menangis. Lidahku terus menyebut nama-Nya. Memohon pertolongan-Nya. Meminta ampunan-Nya.

Aku masih mencium parfum mayat. Aku hirup sepuasnya. Inilah diriku saat aku mati. Yang kemudian digerogoti pemakan mayat. Dan dihimpit tanah lembek, menyatu dengannya.

Hari ke-2 pelatihan mengingatkan diriku saat mencari dan menemukan Islam. Sebuah perjalanan mencari kebenaran dan menguak kebohongan-kebohongan. Beberapa tahun lalu. Beberapa tahun lalu. Hingga menjadi diriku yang sekarang yang sulit didefinisikan. Islam yang menjadi furqan antara haq dan bathil. Islam yang lebih mendekatkan kepada Allah dan Rasulullah serta para sahabatnya. Islam di mana Allah sebagai tujuan. Insya Allah.


to be continued...

 

Kamar Sunyi--Kampus, 24 Februari 2011

Kalau kita memang merasa banyak "PR" yang harus kita kerjakan, apakah itu berkaitan dengan diri kita sendiri, keluarga, masyarakat, dan Islam ini... lantas kenapa kita masih terlena dengan urusan-urusan yang kurang bahkan tidak penting? Ah... hidup ini sangat sebentar dibandingkan kehidupan kita selanjutnya yang tak terhingga. Kalau saat ini kita hidup sesuka kita, maka Allah pun berhak suka-suka terhadap kita.


No comments:

Post a Comment