Sunday, December 11, 2011

Cinta, Impian, dan Perjalanan (Special Edition)

Aku percaya, tidak ada kebetulan. Berliku-likunya kisah kita, ada yang menjadi saudara. Entahlah, apakah kamu masih percaya. Namun, perbolehkan aku dengan keyakinanku. Bahwa aku masih percaya, semua sudah direncanakan-Nya. Dia perencana terbaik, manusialah yang menentukan apa yang dia pilih dalam kehidupannya kemudian.

(Surat terakhir Ajuj kepada Kinanthi, Galaksi Kinanthi, hlm 373)

 

Aku baca bingkaian kata itu sebelum 23.12, selasa itu. Mataku berdanau. Danau yang paling besar ketika aku mengikuti Galaksi Kinanthi, novel yang aku miliki sejak 2 tahun lalu namun baru aku baca sejak malam sabtu, 18 maret lalu.

 

Sabtu. Hari itu penat sekali. Selepas bimbingan aku menuju Aceh untuk melanjutkan pelatihan UTHB 65 Bandung. Namun waktu break pertama telah berlalu 15 menit yang lalu. Rasa tak enak menghampiri membuatku urung masuk. Jadilah aku menuju Gramedia menghabiskan waktu hingga break kedua (duhur). Sebelum meluncur, aku dan abe sempat bersitegang dengan tukang parkir di tempat pelatihan. Si tukang parkir minta bayaran! (baru kali ini aku dan abe ditagih parkir sepeda...)

 

Aku melihat-lihat dan membaca karangan-karangan. Dan tiba-tiba pandanganku agak kabur. Bukan karena minusku bertambah, namun mataku berlinang. Buku yang ada ditanganku saat itu berjudul It’s Miracle & Unusual Love Stories. Keduanya diangkat dari kisah nyata. Aku hanya menyimak sebentar, namun telah membuat tubuhku bergetar.

 

Mungkin gara-gara kejadian itu aku lebih memilih pulang daripada melanjutkan pelatihan. Kakiku juga terasa pegal. Mereka berteriak-teriak meminta istirahat. Kebetulan, butiran-butiran bening dari langit telah usai mengguyur bumi.  Aku mengayuh abe. Pelan. Banyak yang aku pikirkan.

 

 

Cinta itu...

 

Mencintai seseorang yang layak dicintai namun tidak pernah engkau miliki adalah neraka dunia.

(Kinanthi berbicara kepada dirinya sendiri, Galaksi Kinanthi, hlm 378)

 

Malam sebelum sabtu seorang teman menghubungiku untuk sebuah urusan. Ya, tentang cinta. Mungkin sekarang aku harus menambah profesi selain sebagai seorang terapis dan trainer, konsultan cinta, alamak. Namun, yang penting adalah esensinya, yaitu membantu orang lain. Jadi aku pun memberi saran sebisaku. Dan tentu aku banyak mengambil hikmah dari bingkai kisah temanku, serta memperkaya khasanah cinta.

 

Aku memikirkan diriku selepas sesi itu. kemudian berkata dalam hati, “Cinta memang patut diperjuangkan, dan cinta memang harus dimiliki... dengan sebuah proses bernama kesabaran.” Kata-kata “cinta harus dimiliki” menentang bagian diriku yang memiliki konsep “mencintai bukan berarti harus memiliki”. Aku terdiam lama, menelusuri perasaanku sendiri, mengingat sebuah komitmen yang telah aku janjikan kepada diriku sendiri. Lalu aku membuka Galaksi Kinanthi.

 

 

Law of Resonance

 

... tidak ada perempuan yang lebih kuinginkan dibanding dirimu. Perempuan yang kuharap menemaniku jika kuberuntung memasuki surga yang dibangun-Nya. Aku tidak butuh 1.000 bidadari.

(Surat terakhir Ajuj kepada Kinanthi, Galaksi Kinanthi, hlm 373)

 

Matahari menggeliut tidak terlalu terik. Aku menyetop bis Bandung-Cirebon. Aku mempercepat kepulanganku ke Cirebon yang awalnya senin menjadi minggu. Sejak satu bulan yang lalu aku ingin menjenguk atau sekedar menatap wajah kedua orangtuaku. Selain itu, aku harus mengurus NPWP agar royalti dari karya-karyaku tidak dipotong terlalu banyak. Setengah perjalanan awal aku mengikuti Galaksi Kinanthi. Sesekali aku terdiam. Melihat ke jendela. Mataku kadang berdanau kecil. Sudah sekitar 2 tahun aku tak membaca novel. Dan sekarang perasaanku teraduk-aduk lewat kisah Ajuj dan Kinanthi. Cinta, pengorbanan, perlindungan, pencarian, penantian, komitmen, serta ketidakpastian. Aku tenggelam dalam keharuan.

 

Hari mulai tenggelam. Ibuku menanyakan posisiku. Karena seperti biasa, bapakku akan menjemputku jika aku pulang. Tepat jam 18 aku turun. Hp-ku bergetar, mungkin dari bapakku. Tapi dugaanku meleset... tenyata temanku. Dan seketika itu pula bapakku datang.

 

Rumah kami rumah sederhana. Kerikil-kerikil, pohon mangga, dan beberapa tanaman menghiasi halamannya. Disampingnya ada tempat bersalin. Ya, karena ibuku seorang bidan, salah satu pekerjaan mulia di muka bumi ini. Sesampainya di rumah, tiba-tiba aku disambut ibuku dengan menyinggung-nyinggung nikah. Walah... ada apa ini? Kapan? Aku hanya terdiam membisu. Bukan masalah kesiapannya, namun aku sendiri sedang ikhtiar dan tentunya memastikan seorang perempuan yang kelak mendongeng dan melantunkan ayat-ayat Allah kepada anak-anak. Seorang perempuan yang tidak ada bandingannya dengan 1.000 bidadari. Memastikan ketidakpastian, tapi dengan proses bernama kesabaran. Serial KCB yang aku tonton sore itu menguatkan keyakinanku. Tidak terburu-buru, namun juga tidak menunda-nunda. Dan hanya dengan kesabaran aku bisa melakukannya.

 

 

Penantian

 

“Nanti kalau kita ndak bersama lagi, terus kamu mau cari aku, kamu lihat aja ke langit sana, Thi. Cari Gubuk Penceng. Di bawahnya ada galaksi yang tidak terlihat. Namanya Galaksi Cinta. Aku ada di situ.”

(Ajuj kepada Kinanthi saat masih kecil, Galaksi Kinanthi, hlm 50)

 

Selasa malam. Ditemani lilin kecil aku masih menyimak Galaksi Kinanthi. Aku terus penasaran dengan halaman-halaman berikutnya. Apalagi cerita sedang menuju klimaksnya. Bagaimana akhir penantian, pencarian hampir selama 20 tahun antara Ajuj dan Kinanthi, kedua orang yang terpisah 9.000 mil?

 

“Hampir dua puluh tahun ini, jika pun tidak ada wasiat dari Mbah Gogoh, tahukah kamu Thi? Aku tetap akan mencarimu. Dan kamu tidak pernah tahu itu. Selama hampir dua puluh tahun ini kamu mengirim lebih dari 100 surat kepadaku dan aku tidak pernah tahu. Kita sama-sama ingin tahu, tapi tak benar-benar tahu. Ketika dulu, sewaktu kita masih kanak-kanak, apakah kau pikir aku menemanimu karena rasa kasihan akan nasibmu? Jika itu masih ada dalam benakmu, usirlah. Sebab, ada tidaknya kamu disampingku, tetap saja kamu menemaniku.”

 

Surat terakhir Ajuj kepada Kinanthi. Adakah dalam realita hidup yang sebenarnya kisah seperti ini? Aku bertanya dalam hati. Harapan akan bertemu, saling mencari hampir selama 20 tahun, yakin seyakin-yakinnya bahwa orang itu adalah pasangan hidupnya?  

 

 

Kesabaran

 

Menghitung hari detik demi detik

Menunggu itu kan menjemukkan

Tapi kusabar menanti jawabmu

Jawab cintamu

(Menghitung Hari, Anda)

 

23.12. Aku menutup kisah Ajuj dan Kinanthi diiringi “Menghitung Hari”-nya Anda. Ini bukan hanya novel cinta, melainkan pelajaran tentang kehidupan. Tokoh-tokohnya aku kenal betul, karena diambil dari karakter nyata. Terima kasih Mas Tasaro... it’s amazing love story.

 

Jika ada satu kata mengenai cerita Ajuj dan Kinanthi adalah kesabaran. Dan entah tema itu memang sedang menemani hari-hariku. Apakah kebetulan? Entahlah... tapi yang jelas aku sepakat dengan Ajuj, “Aku percaya, tidak ada kebetulan. Berliku-likunya kisah kita, ada yang menjadi saudara. Entahlah, apakah kamu masih percaya. Namun, perbolehkan aku dengan keyakinanku. Bahwa aku masih percaya, semua sudah direncanakan-Nya. Dia perencana terbaik, manusialah yang menentukan apa yang dia pilih dalam kehidupannya kemudian.”

 

Ada yang aneh? Ya, biasannya kita mengatakan, “Kita yang berencana, namun Allah yang menentukan.” Tapi aku yakin, bahwa apa yang kita lihat, dengar, rasakan, serta alami sekarang adalah bagian dari rencana-Nya, skenario-Nya.

 

“Menghitung Hari” berlalu, berganti “Sebelum Cahaya”:

 

Ingatkah engkau kepada

Embun pagi yang bersahaja

Yang menemanimu

Sebelum cahaya

 

Ingatkah engkau kepada

Angin yang berhembus mesra

Yang kan membelaimu

Cinta...

(Sebelum Cahaya, Letto) 

 

 

(Rabu, 23 Maret 2011. 14.25... di atas bis menuju Bandung)

 

Duddy Fachrudin


No comments:

Post a Comment