Monday, February 16, 2009

Prinsip Menjadi Kaya 5

Prinsip 5 : Belajar bukan menyalahkan (BEJ). Enjoy...!

BEJ adalah singkatan dari Blame, Excuse, Justify. Yang dimaksud Blame adalah menyalahkan orang lain. Excuse berarti beralasan. Dan justify menghakimi atau membenarkan.

Apa perbedaan orang kaya dan miskin? Bisa dilihat dari BEJ-nya. Orang miskin ”mungkin” berperilaku BEJ.

Supaya mudahnya, kita simak analoginya ;

Orang miskin saya katakan saja ”mungkin” akan menyalahkan lingkungannya. ”Anjrit, kenape gue bisa miskin kayak gini. Sehari-hari cuma bisa makan dengan ikan asin, krupuk dan sambel doank. Ah... pantesan aje Enyak ame Babe miskin. Gue udeh terlahir hidup miskin!” Begitulah ciri-ciri orang miskin. Nyalahin mulu kerjaannya.

”Eh, mad. Kenape lu nggak bantu Nyak lu aje jualan nasi bungkus di terminal sono?” seru Babe kepada Somad.

”Wah, Somad kan masih sekolah Beh, entarlah kalo udah lulus baru gawe,” Somad beralasan.

Peluang menjadi kaya sangat banyak, kawan. Seperti prinsip yang ketiga : Peluang Ada Dimana-mana. Kalo kita nunggu, nunggu & nunggu mo sampe kapan kayanya? Orang miskin banyak beralasan namun no action.

Kemudian, justify. ”Dia mah bisa kaya karena punya kepintaran atau bakat,” atau, ”Bokapnya kan tajir, jadi pantes aja dia kaya.” Nah, orang yang miskin bakal berkata demikian. Ia men-justify keberadaan orang lain dan nggak mau belajar untuk dirinya. Emang ada orang yang tadinya miskin, trus jadi kaya : BANYAK! Kuncinya adalah mau belajar.

So? Orang yang ingin kaya tidak akan melakukan BEJ. That is the keyword. Well, selamat berjuang dan sampai ketemu lagi di prinsip berikutnya.

Monday, February 9, 2009

Scribo Ergo Sum

Semua penulis akan mati.
Hanya karyanya lah yang akan abadi.
Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.
(Ali bin Abi Thalib)

Siapa yang tidak tahu Twilight sampai Breaking Dawn – nya Stephenie Meyer yang sedang digandrungi penikmat buku saat ini? Siapa pula yang tak kenal Lintang, Ikal, Arai, dan A Ling, karakter-karakter pada tetralogi Laskar Pelanginya Andrea Hirata? Juga dengan Si Harry Potter JK Rowling? Kemudian mari kita sedikit melangkah mundur jauh ke belakang dimana sang maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dengan masterpiece tetralogi Buru-nya (salah satunya: Bumi Manusia) yang dilarang keras beredar saat pemerintahan Orde Baru. Sebelumnya ada Max Haveelar karya Multatuli, seorang Londo (Orang Belanda) yang bersimpati-empati pada rakyat Indonesia saat pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan. Dan di Rusia, tahun 1850-1950an, seorang Count Lev Nikolayevich Tolstoy atau Leo Tolstoy mempengaruhi dunia dengan karya-karyanya yang bercorak realis dan religius.

Yap, mungkin kita tidak mengenal semuanya dan tidak atau belum membaca seluruh karya-karyanya. Sebagian penulis di atas sudah ditelan bumi, tak ada di dunia ini lagi, tapi karya-karya mereka masih terpajang di rak-rak toko buku. Karya mereka masih dibaca, masih banyak orang yang memburunya, dan abadi walau tuannya telah mati.

Penulis, sebuah profesi atau pekerjaan yang dulu dipinggirkan oleh orang-orang, namun sekarang banyak orang yang ingin menjadi penulis, karena bukan hanya cukup menjanjikan dari segi pendapatan, tapi juga popularitas bak artis yang bakal didapat. Hanya itukah orang-orang menulis buku, artikel di blog, ikut lomba menulis, atau skenario film?

Saya sependapat dengan Multatuli, bahwa saya menulis karena saya ingin dibaca! Saya ingin didengar! Bahkan saya ingin dihargai! Ya Kawan, menulis untuk memenuhi kebutuhan self-esteem kita. Kebutuhan akan harga diri, seperti kebutuhan dihargai oleh orang lain juga oleh diri sendiri, kebutuhan terhadap status, kemuliaan, kehormatan, perhatian, reputasi, apresiasi, dominasi, percaya diri, kompetensi, kesuksesan, dan independensi. Intinya kita ingin berapresiasi sekaligus berkreasi lewat karya-karya kita dan puncaknya adalah kebanggan ketika kita menciptakan karya tersebut.

Semenjak serius menulis di tahun 2006, selain sebagai terapi yang ampuh bagi kondisi emosional saya, menulis saya jadikan sebagai ajang memenuhi self-esteem. Honor dan popularitas hanyalah faktor pendamping dalam menulis. Dan kini, eksistensi adalah faktor utama mengapa saya menulis. Dengan menulis saya mengungkapkan cara berada saya, scribo ergo sum –saya menulis maka saya ada. Dan saya percaya atas apa yang dikatakan Khalifah Ali bin Abi Thalib, kita akan terus hidup melalui coretan-coretan pena yang kita buat.

Lantas apa yang harus kita tuliskan? Sayyidina Ali melanjutkannya: Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti. Karya yang membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik, tulisan yang membuat orang tersenyum, karya yang mencerahkan, tulisan yang ..... akan membuat bahagia penulisnya di akhirat nanti.

 

Menjemput surga dengan menulis ...

1 Februari 2009 - malam sunyi


Sunday, February 1, 2009

I’am A Leader

“Sebuah negara tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan.”

(Sir Henry Dunant)

Sore itu, Kamis, 3 Juli 2008 saya termenung membaca quote di atas pada sebuah novel berjudul singkat namun berisi, 5 cm. Sebuah kalimat yang terlontar dari seorang Bapak Palang Merah sedunia itu menggetarkan hati dan seluruh tubuh saya. Beberapa detik saya melamun. Kemudian saya berucap dalam hati, keren.

Saat ini banyak teori tentang kecakapan berkomunikasi, kepemimpinan, bekerja sama dalam tim, atau soft skills lainnya yang marak dalam seminar-seminar maupun training pengembangan sumber daya manusia. Buku-buku keterampilan berorganisasi pun layaknya butiran pasir yang bertebaran dimana-mana. Namun, itu kebanyakan sebatas teori belaka.

Apa yang diucapkan Sir Henry Dunant bukan sekedar teori belaka. Bertualang adalah kegemaran yang bisa diaplikasikan siapapun. Bertualang bisa dilakukan sendiri maupun secara bersamaan. Dan yang paling penting dari semua itu adalah bertualang dapat meningkat keterampilan kita dalam leadership, melatih team work, mengatur strategi, dan lainnya.

Saya pernah merasakan hal itu ketika mengikuti Sekolah Pendaki Gunung Gede yang diadakan oleh Wanadri pada tahun 2007 yang lalu. Selain ingin merasakan atmosfir petualangan, saya juga dari awal ingin merasakan benar-benar bagaimana rasanya mengembangkan skills tadi di hutan belantara. Saat itu, empat hari kami peserta SPG (Sekolah Pendaki Gunung) diberikan pelatihan di Salabintana. Dari persiapan perbekalan sampai pertolongan medik dan survival materi diberikan. Tiga harinya kami mempraktekan materi tersebut sembari mendaki ke Gunung Gede.

Selama tiga hari itu, kami dibagi ke dalam kelompok-kelompok, membuat bivak (tenda dari ponco) sendiri, memasak makanan dan air, saling menjaga dan membantu jika satu sama lain sedang kesulitan, mengantar teman buang air, dan membawa sampah bergantian. Seperti yang Henry Dunant bilang, inilah soft skill praktis yang bisa di dapatkan dalam bertualang, dan saya benar-benar merasakan manfaatnya sekarang, baik dalam organisasi maupun kehidupan sehari-hari.

Ya, andaikan setiap pemuda di negeri ini suka bertualang di alam, maka niscaya tidak mustahil lahir pemimpin-pemimpin yang berkualitas yang siap membangun bumi pertiwi ini. Sayangnya kita sendiri sering melihat para pemuda di tempat bermain playstation, nongkrong nggak jelas di setiap sudut jalanan kota atau berhamburan pergi ke mall-mall menghabiskan waktu.

Arus globalisasi pun secara langsung mempunyai efek yang signifikan terhadap pengembangan karakter pemuda kita. Televisi yang dibanjiri dengan tayangan-tayangan mengasikkan membuat orang-orang dari mulai anak-anak sampai nenek-nenek  setia duduk berjam-jam demi tontonan favorit mereka. Apalagi acara-acara yang ada kurang berkualitas, dalam arti hanya mempertontonkan gaya hidup atau kesenangan belaka. Jika hal ini dibiarkan maka perlahan-lahan akan mengikis karakter anak bangsa.

Kita sebagai orang-orang yang peduli terhadap bangsa ini sudah sepatutnya menyosialisasikan kegiatan bertualang di alam. Kegiatan yang bukan hanya sekadar mendaki gunung, apalagi mengotorinya (lestarikan alam kita!), tapi juga sekaligus mengembangkan skill keorganisasian yang nantinya akan bermanfaat bagi kita kelak sebagai manusia yang berada dalam masyarakat, kampus, instansi perusahaan, dan juga negara ini.

Are you ready to be a great leader?


(insert: foto peserta SPG Wanadri 2007 saat meninggalkan puncak Gede)