Monday, January 23, 2012

Aku Masih Setia

Woy bangun!
Bangun tidur, tidur lagi
Bangun lagi, tidur lagi
Banguuunnn... Tidur lagi!
(alm Mbah Surip)

17 Agustus 2009. Pukul 11.00.
Bunyi-bunyian di luar membangunkanku. Sorak sorai suara orang-orang beserta iringan tetabuhan alat musik mengusik tidurku. Para penduduk sepertinya sedang merayakan hari paling bersejarah di republik ini, kontras sekali dengan diriku yang masih asik dengan selimut dan bantal guling. Berisik! Aku ngedumel dalam hati. Tapi walaupun begitu aku berterima kasih, karena mereka membantuku bangun dan memaksa tubuh serta menyeret kakiku menuju kamar mandi.

Jauh-jauh hari sebelum hari kemerdekaan tahun ini sebenarnya aku sudah berencana untuk keliling Bandung sejak fajar terbit hingga matahari terbenam. Aku ingin mengunjungi tempat-tempat bersejarah, terutama Bandung bagian Utara, menikmati pemandangan dan desiran angin Dataran Tinggi Bandung bersama Abe—sepedaku. Mungkin saja melalui angin Bandung Utara, aku bisa mendengar rintihan Dayang Sumbi—Ibunda Sangkuriang yang dicintai dan ingin dinikahi oleh anaknya sendiri. Konon rintihan itu berasal dari Kawah Ratu—salah satu kawah Gunung Tangkubanperahu yang terdengar seperti tangisan seorang Ibu yang menanggung beban akibat ulah anaknya sendiri.


Kawah Ratu Gunung Tangkubanperahu


Namun, rencana jalan-jalan menyambut 17-an tak kunjung kesampaian. Beberapa hari ini—semenjak liburan semester, aku lebih suka menikmati tidur di pagi hari. Malam sampai subuh biasa aku gunakan untuk membaca dan menulis. Apalagi sekarang aku sedang mengedit Academic Psychology Revolution menjadi naskah baru yang rencananya siap dilontarkan ke penerbit. Menulis di malam hari lebih banyak mengundang inspirasi, mungkin karena nggak banyak gangguan sehingga lebih khusyu. Pagi-paginya baru aku tidur.

Itulah mengapa rencanaku gagal, walau begitu setelah mandi aku harus keluar dari kamar untuk menikmati hari. Bisa mati bosan aku diruangan 3x3.5 dan berantakan itu. Mengenai bosan, aku jadi teringat kata-kata Soe Hok Gie: Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di dalam kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras, diusap oleh angin, dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil. Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur. Aku segera menyiapkan plan kasar—mau kemana aku pergi hari ini.

Kusiapkan ransel beserta sebuah buku. Buku? Ya, kemana-mana aku terbiasa membawa buku. Kebetulan saat itu aku sedang membaca The Success Principles-nya Jack Canfield—pengarang Chicken Soup For The Soul atau kalau dalam bahasa kitanya Sop Ayam Untuk Jiwa. Dulu waktu booming-boomingnya buku itu di tahun 2001-2003 aku nggak ngeh dengan isinya, karena dikira resep masakan seperti sop ayam dan sejenisnya, tapi setelah beberapa waktu berselang ternyata beda jauh dengan hipotesis awalku. Setelah siap dengan berbagai bawaan, kuantar Abe keluar pintu kost. Sampai di luar memang banyak orang, bahkan mereka menutupi jalanan sehingga aku harus berpunten-punten ria agar mereka membuka ruang untuk aku dan Abe.

Sebenarnya aku bingung masih kemana aku pergi, walau sudah menyiapkan plan. Aku ingin kembali ke rencana awal, walau hanya sebatas Dago Pakar yang kukunjungi, tapi ketika Abe sudah memasuki DU (Dipatiukur) aku membelokkannya ke Jalan Hasanudin kemudian berhenti di ATM Unpad. Setelah mesin ATM memuntahkan isi yang kuinginkan, Abe kembali memasuki DU.

Etape 1: dari DU aku akan ke Veteran melalu Dago-Merdeka-Lembong-Veteran. Trek yang dilalui lurus dan menurun sehingga tak lama berselang aku sudah sampai. Mau apa aku di Veteran? Hehe... mau apa lagi jika tak membeli helm sepeda. Selagi uang dari beasiswa masih ada, pikirku.

Sebenarnya, 1 tahun 8 bulan yang lalu, ketika aku berkenalan dengan Abe, saat itu juga aku tak lupa membeli sebuah helm United jenis F22-Raptor warna hitam. Namun beberapa bulan setelahnya aku merelakan helm itu diambil orang setelah aku dan Abe mengalami kecelakaan. Ceritanya sekitar maghrib, aku sedang menggoes Abe di Surapati menuju tempat kost. Aku melihat ke belakang memastikan tak ada kendaraan. Setelah yakin tak ada mobil atau motor yang dekat di belakang Abe, dengan tenang aku membelokkan handle bar atau stang ke arah kanan untuk menyebrang. Namun sedetik kemudian... Wuushhh... sebuah motor sangat cepat menyerempet bagian kanan Abe. Aku terjatuh ke aspal, helm terlontar ke depan (karena tidak aku ikatkan tali webbingnya). Apa yang terjadi? Tidak terjadi apa-apa padaku, hanya lecet di pergelangan tangan dan kaki, sementara Abe pun tak mengalami kerusakan berarti. Justru yang menyerempetku tersungkur jatuh dan terseret beberapa meter bersama motornya tepat di tengah jalanan. Untung saat itu tak ada mobil atau kendaraan lain yang melintas. Aku terduduk diam. Aku bersyukur tak terjadi apa-apa denganku, tapi saat itu kereta kencana (kematian versi Opick dalam lagunya Khusnul Khotimah) sangat dekat denganku. Aku merasa tak siap maut menjemput, apalagi saat itu aku belum shalat maghrib. Astagfirullah... Sedetik kemudian dua pengendara motor menghampiriku, mereka marah-marah. Ya, mungkin aku salah, tapi sebelum menyebrang tadi aku sudah memastikan tak ada kendaraan dalam jarak dekat. Mungkin saja mereka tak menghidupkan lampu motor atau sedang rusak lampunya, batinku. Mereka terlihat lebih menderita dibandingkan aku. Celana sobek tergores aspal, lecet yang lebih parah, dan motor yang mungkin agak penyok-penyok akibat menghantam jalanan. Mereka meminta ganti rugi, haa... tapi tak kugubris, karena yang saat itu aku pikirkan adalah sebuah kematian.

Mereka akhirnya pergi, dan saat itu aku masih merenung, duduk di trotoar, lupa dengan segala hal yang telah terjadi. Akhirnya aku bangkit dan mendorong Abe. Kucari F22-Raptor yang terpental ke depan, namun tak ada. Saat itu aku melihat dua pengendara motor itu ingin pergi, dan sepertinya aku menangkap sesuatu pada salah satu tangan mereka. Bukankah itu helmku? Dan mereka pergi sebelum sempat kukejar. Aku kembali termenung dan menghampiri warung nasi goreng di seberang jalan untuk meminta air. Mereka berdua—mungkin sepasang suami-istri adalah saksi kejadian barusan, sang Suami berujar bahwa motor yang menyerempetku memang melaju dengan sangat cepat. Aku berterima kasih untuk segelas teh yang mereka berikan dan kesaksian itu, lalu aku pulang membiarkan kisah itu berlalu.


Sejak peristiwa itu aku belum membeli helm lagi, sampai akhirnya kini aku memutuskan untuk membawa pulang sebuah helm dari salah satu toko sepeda yang ada di Veteran. Beberapa hari sebelumnya aku sudah searching di internet untuk membeli helm yang mana. Pilihan awal tetap saja United, karena Abe pun keluaran United. Setelah melihat-lihat di sebuah toko, aku lebih ingin membeli helm batok yang biasa suka dipakai para skater. Beberapa toko aku masuki, selain melihat helm, aku juga mencuri pandang ke jejeran sepeda yang ada di toko itu. Kulihat berbagai sepeda MTB dan road-bike. Satu lagi yang menarik perhatianku adalah Seli atau Sepeda Lipat keluaran United. Ingin rasanya mencicipi mereka yang punya spesifikasi lebih canggih dari Abe. Hmm... apalagi Seli, walau disana tak melihat empunya Seli—keluaran Dahon, ingin sekali diri ini memilikinya, kalo lagi capek ngegoes tinggal lipat, terus naik angkot haha...

Akhirnya tibalah aku di sebuah dealer Polygon. Langsung aku melihat helm batok Polygon bermerek Volcano dan langsung menanyakan harganya. Lantas aku pikir-pikir dulu, sambil melihat berbagai sepeda Polygon berjejer seperti prajurit yang sedang baris. Seperti halnya di toko-toko sebelumnya, ingin rasanya membeli sepeda baru bermerek Polygon. Selain top brand sepeda dari negeri sendiri, Polygon dengan B2W (Bike To Work)-nya ikut menggerakkan orang-orang untuk bersepeda, selain ke kantor juga upaya menyelamatkan bumi tercinta ini dari global warming.

Adzan ashar menggema diiringi tumpahan air hujan dari langit. Aku tak bisa bergerak menuju toko berikutnya. Sambil menanti hujan reda, akhirnya kuputuskan untuk membeli helm di dealer Polygon saja. Aku melihat-lihat helm lain, ada Magma, Lava, Dakkar, F-40 Blazer United, dan helm keluaran Wimcycle. Setelah mencoba satu persatu sambil ngobrol sama si empunya toko yang kupanggil dengan Koh, aku mengambil Dakkar warna biru-silver-hitam. Kutebus helm itu dengan duit 150 ribu, walau harga aslinya 149 ribu. Ya sudahlah, seribunya buat bayar berteduh, hehe...

Helmet Dakkar

Langsung kupakai Dakkar di kepalaku. Sementara kardus helm yang segede gaban dilipat-lipat supaya bisa masuk ranselku. Kebetulan seorang pembantunya Koh dengan senang hati melipatkan kardus. Hujan sudah reda, kudorong Abe menuju sebuah bengkel sepeda bertuliskan Tenda Biru. Kemudian aku menanyakan seat post (tiang penyangga sadel) ukuran 25.4 cm. Kebetulan ada, merek Genio dan aku langsung meminta untuk mengganti seat post Abe yang lama. Kenapa harus diganti? Alasannya sederhana: karena kurang tinggi. Seat post yang lama tingginya sekitar 23 cm dan berbahan besi, sedangkan yang baru lebih dari 30 cm dengan bahan alumunium. Dengan seat post yang lebih tinggi, aku lebih asik ngegoes dan bisa meminimalisir rasa capek.

Saat di dealer Polygon dan Tenda Biru, aku sepertinya mengenal seseorang, tapi aku tak menyapanya. Mungkin ia Rully anak STT Telkom, teman lama ketika aku ikut kelas Entrepreneurship University, tapi lagi-lagi aku setengah tak yakin. Di sebelahnya ada seorang laki-laki berumur 50-an bertopi, memakai kaus putih, badannya agak gemuk. Mungkin ia ayahnya. Di Tenda Biru sepertinya mereka berdua menservis sepedanya.

Etape 2: aku melanjutkan perjalanan menuju Togamas melalui Kosambi-Gandapura-Cendana-Supratman. Tujuan kesana ingin ngecek One Piece jilid 52 apakah sudah ada atau belum. Selain itu juga numpang shalat ashar. Ternyata One Piece 52 belum keluar, aku malah beli yang jilid 25.

One Piece sudah menjadi bacaan wajib bagiku. Kini aku mengoleksinya, walau dulu sudah membacanya di berbagai persewaan buku. One Piece bukan hanya bacaan hiburan penghilang stres, karakter-karakter Bajak Laut Topi Jerami dalam karya Eichiro Oda itu: Monkey D. Luffy dan teman-temannya mengajarkan banyak hal, seperti berani bermimpi, leadership, friendship, tanggung jawab, perjuangan, dan team work. Jadi membaca One Piece sama seperti membaca buku-buku pengembangan diri kayak The Success Principles yang ada di ranselku.


Tak terasa matahari ingin tenggelam, senja sudah condong ke barat. Aku meminta bos Satpam mengeluarkan Abe dari himpitan motor-motor yang mengelilinginya. Si Satpam ini sudah akrab denganku, walau aku sendiri tak tahu namanya. Kalau aku dan Abe berkunjung ke Togamas, senyum ramahnya tak ketinggalan terlontar. Dan yang paling kuingat darinya adalah suka memindahkan Abe dari posisi parkir semula. Aku sempat mengira Abe dicuri orang.

Etape 3: sepertinya aku mau pulang. Namun di tengah jalan aku membelokkan Abe ke Ciliwung dari Supratman, saat itulah terlintas untuk jalan-jalan dulu ke Gramedia Merdeka. Rute yang dipilih adalah Ciliwung-Cihapit-Martadinata-Gramedia. Disana numpang shalat maghrib dan liat-liat buku lagi, barangkali ada buku atau majalah yang bisa dibaca.

Cuma satu jam aku disana. Setelah mahgrib, aku ke bagian majalah. Kebetulan ada majalah baru tentang sepeda: RideBike dan membahas seputar Seli. Ada yang tidak disegel plastik, hehe... lumayan, baca gratis. Halaman per halaman dibuka, mata kemudian khusyu memandangi Seli dari berbagai keluaran dan tipe. Hormon endorphine pun menyeruak ke seluruh tubuh. Otak memerintahkan untuk membelinya, tapi hati berkata: kalo ada duit ya...

Mungkin suatu saat aku membeli sepeda lagi—entah apakah Seli, MTB yang lebih canggih—downhill, cross country, atau road-bike, tapi untuk sekarang aku masih setia dengan Abe. Ada keinginan juga untuk mengganti frame atau parts, supaya lebih keren, tapi sepertinya tidak. Abe sendiri adalah singkatan dari Alang Bike, sementara kata Alang diambil dari ilalang. Hmm... jadi filosofinya adalah... Ah silakan Kawan menerka-nerka sendiri.

Selama hampir 2 tahun ini, aku selalu ditemani Abe kemana-mana. Ke kampus misalnya, aku hanya butuh 10-15 menit untuk sampe di kampus dari tempat kost. Artinya waktu yang dibutuhkan lebih cepat dibanding naik angkot yang bisa sampe 30-60 menit. Selain ke kampus, berbagai tempat yang biasa aku singgahi, seperti toko buku Togamas, Gramedia, Palasari, event pameran, kantor KKMB di Jalaprang, dan tempat-tempat lain bersama Abe. Jadi nggak ada salahnya aku tetap setia dengannya karena selama ini Abe memberikan yang terbaik.

Etape 4: malam sudah pekat dan adzan isya telah berkumandang. Aku pulang ke tempat kost melalui Dago-DU-Sekeloa dengan rajutan kisah.

Dalam perjalanan pulang aku merenungi perjalanan ini. Berbagai godaan dan ujian untuk melirik sepeda lain berusaha aku tepis jauh-jauh. Hidup ini ibarat perjalanan yang telah kulalui barusan, jika tak tahan dengan godaan apakah itu wanita/pria lain kita bisa menghianati pasangan kita, padahal justru pasangan kitalah yang membuat kita kuat. Mereka yang terus menyemangati diri kita dan selalu menjadi tempat bersandar ketika kita sedang terpuruk.


Ya, aku belajar untuk setia dalam perjalanan kali ini.

Sadarkah ketika seorang suami sedang membaca koran di pagi hari kemudian tiba-tiba istrinya menyuguhi segelas kopi kesukaannya? Sadarkah ketika seorang istri, setia ditunggui suaminya ketika ia sedang sakit? Sadarkah bahwa setelah itu ada anak-anak yang lucu yang menemani kebahagiaan keduanya? Lantas mengapa masih ada yang menghianati sebuah pernikahan? Apakah karena pasangan kita tidak secantik dulu? Atau uangnya tidak sebanyak di awal kehidupan pernikahan? Atau memang karena tidak tahan dengan godaan di luar sana? Godaan kepopuleran dan pasangan yang lebih cantik/ganteng secara fisik dan kaya secara materi? Ah biarlah hati yang menjawabnya.

Begitu juga dengan hubungan kehidupan vertikal kita. Allah yang selalu setia dan memberikan yang terbaik kepada hamba-hamba-Nya, namun kenapa sebagian besar orang tidak membalas dengan sebuah kesetiaan yang sama. Kesetiaan yang tauhid dan kecintaan yang tulus hanya kepada-Nya. Oleh karena itu tidak heran jika Allah memberi peringatan dalam bentuk apapun untuk mengingatkan kita kembali kepada-Nya. Sebagai contoh ketika zaman nabi Luth, Allah menggetarkan bumi di bawah kaki kaum Sodom. Getaran itu mendahului suatu gempa bumi yang kuat dan hebat disertai angin yang kencang dan hujan batu sijjil yang menghancurkan dengan serta-merta kota Sodom beserta semua penghuninya. Demikianlah mukjizat dan ayat Allah yang diturunkan untuk menjadi pengajaran dan ibrah bagi hamba-hamba-Nya yang mendatang.

Ya Rabb... ampuni kami. Ampuni segala khilaf yang telah kami lakukan. Terangkanlah jiwa kami yang kabur—yang penuh dosa ini. Terangkanlah hati yang kadang hilang arah ini. Bimbing kami Ya Rabb... maafkan... maafkan kami, sebelum akhir kehidupan ini.


Baru tersadar bahwa setiap tarikan nafas,
adalah semakin berkurangnya usia kita...

Sunyi Pagi—19 Agustus 2009

Duddy Fachrudin

No comments:

Post a Comment