Monday, February 9, 2009

Scribo Ergo Sum

Semua penulis akan mati.
Hanya karyanya lah yang akan abadi.
Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.
(Ali bin Abi Thalib)

Siapa yang tidak tahu Twilight sampai Breaking Dawn – nya Stephenie Meyer yang sedang digandrungi penikmat buku saat ini? Siapa pula yang tak kenal Lintang, Ikal, Arai, dan A Ling, karakter-karakter pada tetralogi Laskar Pelanginya Andrea Hirata? Juga dengan Si Harry Potter JK Rowling? Kemudian mari kita sedikit melangkah mundur jauh ke belakang dimana sang maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dengan masterpiece tetralogi Buru-nya (salah satunya: Bumi Manusia) yang dilarang keras beredar saat pemerintahan Orde Baru. Sebelumnya ada Max Haveelar karya Multatuli, seorang Londo (Orang Belanda) yang bersimpati-empati pada rakyat Indonesia saat pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan. Dan di Rusia, tahun 1850-1950an, seorang Count Lev Nikolayevich Tolstoy atau Leo Tolstoy mempengaruhi dunia dengan karya-karyanya yang bercorak realis dan religius.

Yap, mungkin kita tidak mengenal semuanya dan tidak atau belum membaca seluruh karya-karyanya. Sebagian penulis di atas sudah ditelan bumi, tak ada di dunia ini lagi, tapi karya-karya mereka masih terpajang di rak-rak toko buku. Karya mereka masih dibaca, masih banyak orang yang memburunya, dan abadi walau tuannya telah mati.

Penulis, sebuah profesi atau pekerjaan yang dulu dipinggirkan oleh orang-orang, namun sekarang banyak orang yang ingin menjadi penulis, karena bukan hanya cukup menjanjikan dari segi pendapatan, tapi juga popularitas bak artis yang bakal didapat. Hanya itukah orang-orang menulis buku, artikel di blog, ikut lomba menulis, atau skenario film?

Saya sependapat dengan Multatuli, bahwa saya menulis karena saya ingin dibaca! Saya ingin didengar! Bahkan saya ingin dihargai! Ya Kawan, menulis untuk memenuhi kebutuhan self-esteem kita. Kebutuhan akan harga diri, seperti kebutuhan dihargai oleh orang lain juga oleh diri sendiri, kebutuhan terhadap status, kemuliaan, kehormatan, perhatian, reputasi, apresiasi, dominasi, percaya diri, kompetensi, kesuksesan, dan independensi. Intinya kita ingin berapresiasi sekaligus berkreasi lewat karya-karya kita dan puncaknya adalah kebanggan ketika kita menciptakan karya tersebut.

Semenjak serius menulis di tahun 2006, selain sebagai terapi yang ampuh bagi kondisi emosional saya, menulis saya jadikan sebagai ajang memenuhi self-esteem. Honor dan popularitas hanyalah faktor pendamping dalam menulis. Dan kini, eksistensi adalah faktor utama mengapa saya menulis. Dengan menulis saya mengungkapkan cara berada saya, scribo ergo sum –saya menulis maka saya ada. Dan saya percaya atas apa yang dikatakan Khalifah Ali bin Abi Thalib, kita akan terus hidup melalui coretan-coretan pena yang kita buat.

Lantas apa yang harus kita tuliskan? Sayyidina Ali melanjutkannya: Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti. Karya yang membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik, tulisan yang membuat orang tersenyum, karya yang mencerahkan, tulisan yang ..... akan membuat bahagia penulisnya di akhirat nanti.

 

Menjemput surga dengan menulis ...

1 Februari 2009 - malam sunyi


No comments:

Post a Comment