Reply : Impian Tak Bisa Menunggu (From Aline)
Salam Hormat dan salam kenal Bapak Alang Nemo! Sebelumnya mohon maaf kalau Aline salah sebut. Soalnya, sudah banyak kali Aline melakukan kesalahan dengan kasus yang sama. Itu karena Aline masih berstatus murid baru. Kalau tidak salah baru 2 bulan 13 hari. Kalau tidak salah. Hehehe... Jadi, mohon maaf yang sebesar-besarnya, ya.
Kembali ke tulisan Bapak....
Tulisan yang luar biasa. Terus terang, Aline lebih tertarik pada tulisan yang menceritakan yg konkrit daripada tulisan yag teori2 atau defenisi2... membuat saya jadi pusing. Membaca tulisan Bapak, Aline teringat sebuah buku yang ada di rak buku dalam kamar sempit saya. Sebuah buku yg ditulis oleh seorang ibu (orang sulawesi). Dalam buku itu, beliau memaparkan bagaimana cara mengenali diri dan mengenal tujuan hidup....
Oh, ya! Aline sudah lho membuat peta hidup selama 20 thn yg akan datang. Sudah 1 thn lebih Aline membuat peta itu.
Tetapi, kali ini, lagi-lagi Aline akan menjadi yang 'beda'... Sejujurnya, saya juga tidak memahami diri saya sendiri. Karena, di mana2 saya berada, saya selalu merasa 'asing'... Terkadang, saya juga bingung, apa ada yg salah dengan diri saya?
Begitu pula kali ini, Pak Alang Nemo.
Kalau menurut Aline, Pak... "Mimpi itu tidak ke mana-mana. Tidak bergeser. Boleh juga dikatakan, Mimpi itu menunggu... " (tentu saja menurut saya ya, Pak)...
Pasti Bapak bertanya, kenapa bisa?
Baiklah, Pak! Aline akan mencoba mengatakannya dengan suara terbata-bata saya. Aline akan bersyukur, kalau Bapak sudi menanggapi. Karena seumur hidup ini, baru 1 orang yg sudi mengomentari tentang keasingan saya ini. Semua orang yg saya jumpai selama ini, hanya diam saja mendengarkan cerita saya.
............ ......... ......... ......... ......... ......... ...
Saya mengandaikan, kalau saya ini berada pada sebuah titik. Sedangkan mimpi saya berada pada sebuah titik juga. Tentu saja pada titik yg berbeda Pak ya. Tempatnya juga berbeda.
'Titik Mimpi' ... saya tidak ke mana-mana. Tetap berada pada posisinya. Yang berbeda adalah 'Titik Posisi' saya. Seberapa jauh saya melangkah, sekian pula saya membawa titik posisinya.
Seperti kata Bapak, "Di antara 100 orang, hanya 4 orang saja yang mengetahui tentang tujuan hidupnya" Dan Aline juga sependapat kalau, "keinginan beda dengan tujuan hidup/cita-cita" ...
Kalau saya tahu tujuan hidup saya, pasti yg saya fokuskan hanya 'Titik Mimpi' tadi. Tetapi, kalau saya tidak tahu titik mimpi saya, bisa saja di tengah jarak titik itu, saya membelok ke arah lain. Dan tiba pada suatu titik yang bukan titik mimpi saya.
Dan satu lagi contoh alasan Aline, Pak!
Kebetulan sekali Bapak orang
Andaikan Kota Bandung adalah tujuan hidup saya, sedangkan saya orang
Taruhlah, saya memilih Bus. Biayanya agak murah. Pasti semuanya terkejut. dari sulawesi ke Jawa, mana bisa sampai kalau pakai Bus. Tenag aja! Bisa kok. hehehe...
Saya hanya memiliki beberapa ratus ribu uang misalnya, saya naik bus sejauh mana uang saya mencukupi. Lalu, saya akan terdampar pada sebuah tempat. Oleh karena keinginan saya sangat besar untuk ke
Tentu saja cerita yg saya bawa berbeda dengan cerita kalau saya naik pesawat terbang dengan naik bus. Kalau saya naik pesawat, yg saya ceritakan adalah seputar bandara, suasana saat pesawat ingin meninggalkan bandara, suasana dalam pesawat (dingin), bagaimana rasanya kalau berada di atas awan, bagaimana rasanya melihat benda yg berada di bawah
Ketika saya sudah sampai ke
Ini ada kaitannya dengan tulisan Bapak Sismanto, " ... adakah cangkang yg terluka saja bisa menjadi mutiara?.... (maaf ya Pak, kalau kalimatnya gak sama. tapi, maksudnya sama
Kalau saya naik pesawat
Lho, apa kaitannya dengan tulisan Bapak Nemo?
Begini, Pak! Menurut Aline, Bandungnya gak ke mana-mana. Tetap pada tempatnya. Yang tidak bisa menunggu adalah 'busnya atau pesawatnya' ...
Begitu pula dengan mimpi. 'Tujuan Hidup/Titik Mimpi saya gak ke mana-mana" Tetap pada posisinya. Yang tidak bisa menunggu adalah "Peluangnya/ Kesempatannya"
".... kesempatan tidak akan datang dua kali..." (Begitu kata sebagian besar orang).
Kalau Aline, Pak kalimatnya berbeda: ... "... kesempatan pertama sebaiknya kita tangkap. Karena kesempatan ke dua belum tentu kita gemgam..."
Maksudnya? Agar saya tidak ketinggalan pesawat, saya harus datang lebih cepat atau tepat waktu. Kalau tidak, pasti saya akan tertinggal.
Tentu saja saya masih ingat, kalau penerbangan berikutnya masih ada. Yang perlu saya khawatirkan/ pikirkan adalah kapan lagi penerbangan itu? Berapa lama lagi? Begitu pula dengan bus, yg perlu saya khawatirkan adalah, jangan sampai bus berikutnya terhalang sesuatu. Misalnya, tiba-tiba jembatan rusak. Berapa lama waktu saya harus menunggu? Jangan-jangan ajal saya sudah menjemput, jempatan belum selesai dibangun. Sedangkan saya belum tiba ke
Begitu pula dengan kesempatan/peluang. Kesempatan pertama, sebaiknya saya tangkap baik-baik. Pergunakan secepat mungkin. Karena kesempatan kedua belum tentu saya bisa gemgam.
Misalkan, saya seorang suami dari seorang istri. Sudah bertahun-tahun saya memimpikan untuk mendirikan sebuah warung bakso. Dan hari ini, saya akan mewujudkan impian saya. Uang sudah cukup di tanganku. Tinggal membeli barang-barang yg diperlukan. Tetapi, tiba-tiba hari itu juga istri saya meninggal (karena takdir ya, Pak!)... Tidak mungkin saya membiarkan jasad istri saya membusuk. Lalu, saya mendirikan warung bakso. Gak mungkin,
Apa yg saya lakukan? Membatalkan niat saya untuk mendirikan warung bakso. Uang itu saya gunakan untuk membiayai pengebumian istri saya. Wah... hati saya pasti hancur berkeping-keping. Kenapa? 1). Istri yg saya cintai telah pergi meninggalkan saya. 2).Impian saya kandas di tengah jalan. 3) ...."....Kesempatan tidak akan datang dua kali...."
Wah... karena tidak ada harapan lagi, lebih baik saya bunuh diri deh.
Aduh, Bapak Alang Nemo! Sudah kelewat panjang nih cerita bus, pesawat dan baksonya. Kalau Aline salah, tolong dibenarkan ya, Pak! Seperti kata Bapakku, "Yang tidak pass, dipasskan. Yang bengkok, diluruskan"
Alangkah bersyukurnya Aline kalau bapak sudi menanggapi. Aline cuma seorang murid biasa. Gadis pembelajar. Dan Bapak saya pernah berkata, "... Kita bisa belajar dari mana saja. Dari siapa saja. Dan kapan saja." Dan Aline juga teringat kata penulis favourite, "...Kita terlahir sebagai manusia pembelajar.. . " (Andreas Harefa)... Jadi, mohon tutunannya ya, Bapak Alang Nemo!
Terimakasih yg sebesar-besarnya. Dan beribu-ribu mohon maaf yg saya ucapkan.
Salam Hormat,
Aline (yang malu-maluin)
NB: ....".... Lebih baik malu-maluin daripada tidak punya malu... " kata Bapak Sismanto...Hehehe. .