menghampiri orang – orang
dalam sebulan
untuk menunaikan kewajiban
Ataukah... kebiasaan?
Sop buah, kolak, candil dan berbagai menu pembuka puasa disajikan berjejer oleh para penjualnya. Selintas kemudian beberapa orang menyerbu sejumlah jajanan tersebut. Pedagang tersebut untung. Ramadhan memang bulan penuh berkah.
Fenomena di atas sering kita jumpai di setiap sore di bulan Ramadhan. Hampir setiap orang keluar pada sore hari untuk ”ngabuburit” menjelang buka puasa dan menyiapkan beberapa lembar ribuan untuk dibelikan sop buah, kolak atau candil. Sehingga tidak heran jika sepanjang jalan dimana makanan – makanan tersebut dijual, sore hari jalanan penuh dengan manusia – manusia yang sedang menanti adzan mahgrib dengan begitu bersemangat.
Ada cerita menarik sehari menjelang bulan Ramadhan tahun ini. Ketika itu saya dan teman saya sedang meluncur dengan sebuah Katana mungil menuju Antapani selepas maghrib. Di pertigaan Katamso, jalanan mulai macet, penuh sesak dengan berbagai kendaraan yang entah mau kemana. Saya kemudian menyeletuk, ”Wah mau taraweh nih.” Kemacetan belum reda sesampainya di Ahmad Yani, bahkan di Terusan Jakarta pun demikian. Semangat Ramadhan sepertinya membakar penduduk Bandung untuk bisa melaksanakan ibadah secara maksimal. Ketika kendaraan yang kami tumpangi berbelok ke kanan denga jarum speedometer masih belum bergerak naik, masih pada tempatnya. Mobil berbelok lagi ke arah kiri. Dari kejauhan nampak mobil – mobil di depan kami sedang mengantre parkir pada suatu tempat. ”Oh... tarawehnya di supermarket toh,” saya dan teman saya hanya tertawa geli.
Satu lagi fenomena yang sering kita jumpai di bulan Ramadhan adalah kejadian yang saya alami tersebut. Lihat juga ketika para perempuan mendadak menjadi ”akhwat”. Terlepas dari berbagai fenomena yang hadir di bulan Ramadhan, pernahkah kita memikirkan dan mencari jawaban tentang eksistensi Ramadhan itu sendiri?
Di bulan Ramadhan kita semua diwajibkan melaksanakan puasa. Menahan lapar dan dahaga juga hawa nafsu yang terpenting. Hal itu sudah jelas tertulis dalam surat Al – Baqarah ayat 183 :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Al – Baqarah : 183)
Siapakah orang – orang yang beriman yang dimaksudkan Allah dalam ayat tersebut?
Iman berarti memahami sesuatu dalam hati, mengiyakan dalam ucapan dan melaksanakan dalam perbuatan. Artinya ketika kita beriman pada Allah, kita memahami bahwa Allah lah satu – satunya dzat yang wajib disembah, mengatakan syahadah sebagai bukti lisan dan melaksanakan aturan dan hukum Allah secara keseluruhan. Orang – orang yang beriman inilah yang dikatakan Allah yang diseru untuk melaksanakan shaum di bulan Ramadhan agar mereka bertakwa (bertambah ketakwaannya).
Ramadhan hadir untuk mengintrospeksi kita. Ramadhan hadir untuk menegur kita. Dan Ramadhan hadir bagi mereka yang ”benar – benar” mengimani islam sebagai dien secara keseluruhan agar ketakwaannya bertambah. Hingga saatnya kita kembali ke fitrah, manusia yang mempunyai naluri kembali ke tauhid yang murni, seperti firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 30 :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Ar-Rum : 30)
Idul Fitri berarti kembali ke tauhid. Kembali ke dien Allah yang murni. Tapi kebanyakan orang tidak mengetahui. Entah kenapa... mungkin orang – orang tersebut melaksanakan puasa Ramadhan karena tradisi kebiasaan belaka.
Ramadhan, untuk siapa?
No comments:
Post a Comment