Suatu hari di tahun 2030. Sebuah stasiun tv di luar negeri melaporkan kondisi perekonomian negara – negara maju di belahan dunia ini. Dalam tayangan tersebut nampak daftar peringkat negara berdasarkan pendapatan perkapita dari yang paling tinggi. Negara sakura Jepang menempati posisi pertama, disusul Korea Selatan, Singapura, Amerika Serikat dan terakhir
Indonesia? Pertanyaannya : benarkah informasi tersebut?
Ada empat target yang ingin diwujudkan Visi Indonesia 2030; masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pendapatan per kapita 18.000 dolar AS per tahun; 30 perusahaan Indonesia masuk daftar 500 perusahaan besar dunia; pengelolaan alam yang berkelanjutan; serta terwujudnya kualitas hidup modern yang merata. Target ini bisa direalisasikan jika pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 persen, laju inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12 persen per tahun. Pada 2030, dengan jumlah penduduk 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 5,1 triliun dollar AS. Sebuah harapan yang sangat dinanti – nantikan oleh siapapun yang berada dalam negara republik tercinta ini.
Bisa dibilang empat target yang dicanangkan dalam Visi Indonesia 2030 tersebut cukup realitis asalkan dibarengi dengan usaha yang keras. Tentunya ketika pemerintah mencanangkan itu berarti ada sebuah optimisme yang besar yang siap digulirkan. Dan hanya dengan modal kesadaran dan keinginan kuat, pemerintah dan masyarakat Indonesia bisa mewujudkan itu. Karena kondisi republik ini masih bergelut dalam berbagai permasalahan internal. Masalah yang paling penting adalah kemiskinan. Bagaimana mau sejahtera jika masyarakat Indonesia miskin? Padahal salah satu kunci mewujudkan masyarakat sejahtera adalah meminimalisir kemiskinan, selain stabilitas ekonomi, penyediaan lapangan kerja yang cukup dan perekonomian yang berkesinambungan.
4 Kesadaran di Negara Miskin
Sejalan dengan cita-cita Raden Ajeng Kartini, kebodohan merupakan sumber dari segala kemiskinan. Hal ini ditegaskan kembali oleh Tantowi Yahya dalam sebuah tayangan parawira sebuah surat kabar harian ibukota mengatakan “… tanpa membaca akan meninmbulkan kebodohan, sedangkan kebodohan itu sumber dari kemiskinan.”
Kelemahan sumber daya manusia kita adalah minat baca yang kurang. Minat baca masyarakat Indonesia lemah sekali jika dibandingkan Jepang, Amerika maupun Malaysia. Kita lebih suka menonton daripada membaca, sehingga budaya yang timbul adalah watching habbit bukan reading habbit. Menurut almarhum Harry Roesli, budaya nonton yang mengakar pada masyarakat Indonesia merupakan sebuah ”pembodohan bangsa”. Kemudian lagi menurut Peter Ducker, seorang pakar manajemen dan globalisasi dimana globalisasi merupakan era masyarakat pengetahuan dengan sumber daya utama masyarakat bukan lagi bertumpu pada alam, namun pada pengetahuan. Dan pengetahuan itu pastinya didapat dari hasil membaca. Hal ini merupakan kesadaran yang pertama yang perlu ditindaklanjuti dengan sebuah sikap yang nyata dan tegas bagi segenap elemen yang akan menempuh perjalanan menuju Indonesia 2030 yang dicita – citakan.
Masyarakat Indonesia adalah market yang potensial. Daya beli dari masing – masing individu cukup tinggi. Sebagai contohnya saja, kebutuhan akan produk – produk teknologi telekomunikasi berupa handphone. Bagi orang – orang penting, fitur – fitur canggih yang ada dalam sebuah handphone akan sangat membantu pekerjaannya. Namun, banyak dari kita yang ikut – ikutan membeli item semacam itu, padahal yang dibutuhkan atau digunakan hanya untuk menelepon dan memakai fasilitas short message service. Akibatnya budaya ikut – ikutan (mengikuti gaya hidup / lifestyle) merasuki di jiwa setiap individu. Kesadaran kedua masyarakat Indonesia yang perlu dibenahi adalah budaya hidup yang konsumtif.
Kesadaran yang ketiga adalah mental para pejabat pemerintahan dan orang – orang yang berada dalam sebuah jabatan penting, baik di perusahaan maupun instansi lainnya. Kasus korupsi yang merajalela begitu memprihatinkan. Miris sekali jika mendengar ada kucuran dana dari pusat yang di – cut oleh orang – orang dibawahnya yang tak bernurani. Ujung – ujungnya rakyatlah yang menderita.
Kemudian kesadaran yang keempat adalah paradigma yang berkembang dalam masyarakat. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah lebih menuntut masyarakat agar menjadi pekerja bukan sebagai pembuat kerja. Paradigma ini sudah terpola dan tertanam dalam pikiran kita dengan kuat. Akhirnya yang tercipta adalah masyarakat pekerja bukan entrepreneur society. Setelah lulus dari kuliah atau sekolah tinggi pertanyaan yang dilontarkan selalu : mau kerja apa dan dimana?
Jadi, Kapan Sejahtera?
Jawaban idealnya adalah setelah melakukan tindakan yang dapat mengubah kebiasaan dan budaya dari empat kesadaran diatas. Mulai dari mengubah kebiasaan menonton menjadi membaca (minat baca yang tinggi), budaya produktif bukan lagi konsumtif, moral koruptor menjadi jiwa – jiwa pemimpin yang bertanggung jawab dan merakyat serta pengubahan mindset dalam masyarakat tentang menjadi pekerja dan menciptakan lapangan kerja.
Jika memang jawaban diatas terlalu ideal dan butuh jangka waktu yang sangat panjang untuk diwujudkan, ada satu alternatif solusi yang terbilang ampuh untuk menciptakan kesejahteraan di negara ini. Rujukannya pada tujuan akhir dari kebijakan ekonomi yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagi masyarakat awam, kesejahteraan bukan konsep abstrak, tetapi kondisi nyata yang langsung menyangkut kehidupannya sehari-hari. Maka untuk mencapai kesejahteraan itulah suatu bangsa harus mengupayakan peningkatan produktivitas di bidang ekonomi.
Kata kunci disini adalah produktivitas. Pertumbuhan ekonomi lebih tepatnya. Sekarang bagaimana caranya agar kita bisa meningkatkan hasil lebih dari sebelumnya yang didapat dari perekonomian Indonesia ?
Kembali ke 33 Ayat 1
Aset di beberapa sektor ekonomi vital dikuasai oleh pihak asing. Misalnya saja di bidang pertambangan energi (tambang cair maupun padat) yang mencakup 90% dan perbankan 48%. Kondisi demikian jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu ”penjajahan” model baru ini harus segera disikapi dengan bijak dan serius. Caranya yakni pemerintah dan rakyat saling menggandeng satu sama lain dalam sebuah wadah berbasis ekonomi kerakyatan.
Pada era krisis moneter di tahun 1998 – 1999, terbukti bahwa koperasi dan usaha kecil mampu menjadi ujung tombak ekonomi nasional. Investasi yang ada pada saat itu hanya berasal dari kekuatan ekonomi rakyat bukan dari para konglomerat. Namun begitu, kualitas institusi koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) rata-rata masih rendah dan lemah, sehingga manajemennya perlu mendapatkan perhatian besar. Ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua untuk bagaimana meningkatkan kualitas ekonomi kerakyatan. Dan jawabannya ada pada kesadaran diri sendiri seperti halnya yang terjadi pada Muhammad Yunus, profesor ekonomi di Universitas Chittagong, Bangladesh.
Indonesia harus mulai mencontoh Muhammad Yunus dan Bank Grameennya yang baru saja meraih Nobel Perdamaian 2006. Pria kelahiran 28 Juni 1940 itu tersadar masyarakat di sekitar universitas tempat mengajarnya miskin. Padahal mereka membuat kerajinan yang bagus. Hatinya tergerak untuk membantu dengan memberikan kredit kepada mereka. Tahun 1976, Yunus mentransformasi lembaga kreditnya menjadi sebuah bank formal dengan aturan khusus bernama Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali. Kini, bank ini memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Hebatnya lagi, modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah.
Pelajaran yang bisa dipetik dari Muhammad Yunus dan kaum miskin Bangladesh adalah adanya saling mempercayai yang kuat antar komponen. Hal ini yang belum terjadi di kalangan perbankan dan UMKM. Oleh karena itu lembaga – lembaga keuangan kerakyatan (lembaga keuangan mikro, koperasi, BMT) harus digerakkan seoptimal mungkin agar segera tercapai sinergi dengan UMKM.
Masa depan ada di tangan kita semua sebagai warga Indonesia. Kemiskinan maupun kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab bersama. Kepedulian dan rasa saling mempercayai harus tertanam dalam jiwa masing – masing mulai saat ini. Dan itu semua ada pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Kapan Indonesia sejahtera? Jawabannya bukan lagi may... (maybe yes, maybe no), tapi jelas, konkrit dan tegas. Tidak perlu menunggu kebijakan pemerintah karena Muhammad Yunus pun bergerak atas kesadarannya akan kondisi masyarakat Bangladesh.
Daftar Pustaka:
Suara Karya Online
Ensiklopedia Tokoh Indonesia
Pikiran Rakyat Online
Tulisan Duddy Fachrudin Tentang Indonesiaku Membaca
Tulisan Herry Derwanto Tentang Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi
Masyarakat Transparansi Indonesia
No comments:
Post a Comment