Thursday, December 29, 2011

Dunia

Pagi ini berlari anak-anak
Tertawa terbahak-bahak
Mereka bersamaku
Aku bersamanya

Namanya Fara, Dila, dan Sopia
Mereka punya cita-cita
Untuk mengelilingi dunia
Hahaha aku tertawa

Baiklah kalau begitu: mari kita lakukan.

(23 Januari 2011, teringat anak-anak yang lucu dan cerdas di Rumah Mentari)

Metamorfosis Cinta

Hari ini aku belajar cinta
Cinta tanpa pernah meminta balas
Hari kemarin aku belajar cinta
Cinta yang penuh emosi kegelisahan

Hari ini aku belajar cinta
Cinta tulus dari sang bunda
Hari kemarin aku belajar cinta
Cinta yang manipulatif

Hari ini aku belajar cinta
Yaitu cinta tak bersyarat

(5 Januari 2011, teringat kuliah sore yang luar biasa bersama Kang Tauhid Nur Azhar)

Saturday, December 24, 2011

From This Moment On

Besok seminar parenting. Jenis seminar yang baru pertama aku ikuti. Ketinggalan jaman banget... padahal justru parenting penting dalam kehidupan. Tentunya Islamic Parenting.

Dan kebetulan, meskipun judulnya "Joyful Parenting" esok adalah Islamic Parenting. Maka aku tak sabar menunggu, apalagi yang menjadi pembicara adalah Kang Tauhid Nur Azhar, guruku, dosenku, sahabatku... dan juga Teh Yunita Sari Kurniawan, dosen psikologi Unisba yang ADB, Asik Diajak Bercanda.

Maka aku tak sabar... sungguh aku tak sabar, karena setelah ini hari-hariku banyak diisi oleh buku-buku parenting...

Selamat datang Islamic Parenting...

Monday, December 19, 2011

Cinta & Komitmen

Alkisah 4 tahun yang lalu seorang remaja tak jelas masa depannya melangkah goyah  ke sebuah meja. Nampak di depannya ibu-ibu paruh baya berambut keriting bergigi kuning dan kelihatan pusing menyapa:

“Coba saya lihat dulu berkasnya,” giginya yang kuning memantulkan kemilau cahaya. Suing... Remaja nggak jelas masa depannya dengan cepatnya menghindar dari pantulan cahaya itu. Gayanya seperti di film The Matrix.

“Ini bu...” Remaja itu nyengir (sambil berkata dalam hati, hehe... nggak kena lu).

“Hmm... ya... ya... Hmm... Fakultas Psikologi,” ibu berambut keriting dan bergigi kuning melihat sekilas map yang diserahkan bocah yang barusan nyengir.

“Iya bu,” sang bocah membalas.

“Oke... tapi ini kenapa pilihannya Fakultas Psikologi semua?” si ibu bertanya.

“Oh... nggak ada pilihan lain. Jadi saya isi psikologi semuanya... hehe, ”  lagi-lagi bocah itu nyengir.

“Kalau gitu dicoret aja.”

“Oh... begitu ya?” pilihan 2 pun dicoret.

“Gimana kalau kamu nggak lulus?” si ibu bertanya serius. Akibatnya rambutnya semakin keriting.

“Gimana ya... (garuk-garuk) saya pasti lulus bu, hehe... Kalau nggak lulus, saya jualan gigi ibu aja...”

Nggak usah ketawa. Nggak usah nyengir.

Itu cerita waktu saya daftar PMB Unisba 4 tahun lalu. Ceritanya gitu ya? Ya enggak lah... hehe.

Tapi yang jelas saya cuma milih Fakultas Psikologi. Nggak ada pilihan lain. Hmm... tapi kalo disitu ada pilihan Dian Sastro, saya pasti nyantumin dia. Hehe...

Saya sebenarnya bingung kenapa milih psikologi. Kenapa juga milih psikologi... Padahal ketika kuliah tidur mulu (apalagi kalo dosennya nggak enak ngajarnya). Mata kuliahnya? Waduh... buset apa itu id, ego, superego, anima, animus... bla bla bla...? Serius saya nggak pernah tahu sebelumnya. Tokoh semacam Freud, Skinner, Maslow apalagi. Dan ketika SMA nggak pernah sekalipun nyantumin Psikologi di lembar jawaban try-out SPMB.

Lalu kenapa milih psikologi dan meninggalkan kampus gajah? Suka. Dan sepertinya emang udah disuruh ama Allah masuk Psikologi, hehe.

Dan kini waktu pun berlalu.

Nilai-nilai oke. Semester depan insya Allah lulus (walau ngaret, hehe). Enjoy tanpa beban. Stres... iya juga, tapi dinikmati. Pernah sakit parah, di semester 2, 4, dan 5, tapi masih tetap senyam senyum. Mulai menangani kasus sejak semester 5 (amatiran), dan profesional di semester 6. Ketemu banyak klien rupa-rupa: dari anak-anak nggak mau diem ampe nenek-nenek nggak waras. Nulis buku aneh, dan lain-lain yang sulit disebutkan satu per satu.

Sukses? Hmm... bisa.

Bahagia? Hmm... juga bisa.

Oke sekarang kita beralih pada seorang yang kekar bernama Umar bin Khattab preman pasar. Tidak ada yang takut padanya. Nabi pun harus waspada karena Umar ingin membunuhnya. Namun, Umar luluh dengan lantunan Thaha Fatimah adiknya. Seketika Umar jatuh cinta. Bergegas ia mencari Muhammad. Tidak. Bukan untuk membunuh. Melainkan mengucapkan sebuah janji.

Dan Umar pun menjadi salah satu awwalul muslimun terpenting. Surga, sudah jelas menjadi tempat abadi baginya.

Sukseskah Umar? Hmm... ya.

Bahagiakah Umar? Hmm... tentu.  

Cerita saya jangan disamakan dengan Umar. Tapi dua-duanya punya kesamaan. Apakah itu? Silahkan pikir... Kalau mau gampang ya lihat judulnya aja: Cinta dan Komitmen.

Nah... Cinta dan Komitmen. Lantas mana dulu yang hadir. Di mana-mana juga Cinta dulu, right? Mana ada orang yang mau menikahi orang yang tidak dicintainya (walaupun ada, silahkan baca “Catatan Hati Seorang Istri”-nya Asma Nadia). Dari dua cerita di atas pun Cinta dulu yang hadir. Lantas kemudian Komitmen. Saya hanya memilih psikologi. Itulah komitmen saya, sehingga saya sekarang merasa sukses dan bahagia kuliah di Fakultas Psikologi. Sedangkan Umar mengucapkan dua kalimat syahadat. Itulah janji setia Umar. Ia pun komit membela Islam. Pantaslah Umar diganjar surga.

Cinta dulu, lalu Komitmen. Dan jatuh cinta Umar nggak pake lama. Setelah mendengar Thaha dari Fatimah langsung komitmen. Nggak pake lama. Sekali lagi nggak pake lama. Setelah mengucapkan komitmen Umar belajar, pembinaan, bimbingan sama Nabi bareng sahabat-sahabat lainnya.

Saya yang bodoh pun begitu. Setelah yakin dengan pilihan psikologi satu-satunya serta komit untuk menjalaninya, maka memulai pembinaan dengan dosen. Diskusi, bertanya sana sini. Ikut seminar dan pelatihan hipnoterapi.

Cinta dulu, lalu Komitmen... dan setelah itu cintanya dilanjutkan. Cinta di awal nggak pake lama. Hehe... jatuh cinta sebentar – komitmen – pembinaan dan kemudian jatuh cinta sepuasnya. Ternyata ini rumusnya. Rumus dari para sahabat nabi. Jadi perlu diikuti.

Tentu saja berlaku dalam membangun tim bisnis, meng-coach orang, sampai nikah.

 

Iseng-iseng Nulis, jam 1 pagi, 12 Sept 2011

Duddy Fachrudin

NB: ini tulisan nggak serius. Kalo mau serius silahkan baca kitab “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” hehe..

YA RABB... AKU MAU LULUS...!!! (Deadline 10 hari lagi mengumpulkan draft skripsi untuk FORUM!)

Sunday, December 11, 2011

Cinta, Impian, dan Perjalanan (Special Edition)

Aku percaya, tidak ada kebetulan. Berliku-likunya kisah kita, ada yang menjadi saudara. Entahlah, apakah kamu masih percaya. Namun, perbolehkan aku dengan keyakinanku. Bahwa aku masih percaya, semua sudah direncanakan-Nya. Dia perencana terbaik, manusialah yang menentukan apa yang dia pilih dalam kehidupannya kemudian.

(Surat terakhir Ajuj kepada Kinanthi, Galaksi Kinanthi, hlm 373)

 

Aku baca bingkaian kata itu sebelum 23.12, selasa itu. Mataku berdanau. Danau yang paling besar ketika aku mengikuti Galaksi Kinanthi, novel yang aku miliki sejak 2 tahun lalu namun baru aku baca sejak malam sabtu, 18 maret lalu.

 

Sabtu. Hari itu penat sekali. Selepas bimbingan aku menuju Aceh untuk melanjutkan pelatihan UTHB 65 Bandung. Namun waktu break pertama telah berlalu 15 menit yang lalu. Rasa tak enak menghampiri membuatku urung masuk. Jadilah aku menuju Gramedia menghabiskan waktu hingga break kedua (duhur). Sebelum meluncur, aku dan abe sempat bersitegang dengan tukang parkir di tempat pelatihan. Si tukang parkir minta bayaran! (baru kali ini aku dan abe ditagih parkir sepeda...)

 

Aku melihat-lihat dan membaca karangan-karangan. Dan tiba-tiba pandanganku agak kabur. Bukan karena minusku bertambah, namun mataku berlinang. Buku yang ada ditanganku saat itu berjudul It’s Miracle & Unusual Love Stories. Keduanya diangkat dari kisah nyata. Aku hanya menyimak sebentar, namun telah membuat tubuhku bergetar.

 

Mungkin gara-gara kejadian itu aku lebih memilih pulang daripada melanjutkan pelatihan. Kakiku juga terasa pegal. Mereka berteriak-teriak meminta istirahat. Kebetulan, butiran-butiran bening dari langit telah usai mengguyur bumi.  Aku mengayuh abe. Pelan. Banyak yang aku pikirkan.

 

 

Cinta itu...

 

Mencintai seseorang yang layak dicintai namun tidak pernah engkau miliki adalah neraka dunia.

(Kinanthi berbicara kepada dirinya sendiri, Galaksi Kinanthi, hlm 378)

 

Malam sebelum sabtu seorang teman menghubungiku untuk sebuah urusan. Ya, tentang cinta. Mungkin sekarang aku harus menambah profesi selain sebagai seorang terapis dan trainer, konsultan cinta, alamak. Namun, yang penting adalah esensinya, yaitu membantu orang lain. Jadi aku pun memberi saran sebisaku. Dan tentu aku banyak mengambil hikmah dari bingkai kisah temanku, serta memperkaya khasanah cinta.

 

Aku memikirkan diriku selepas sesi itu. kemudian berkata dalam hati, “Cinta memang patut diperjuangkan, dan cinta memang harus dimiliki... dengan sebuah proses bernama kesabaran.” Kata-kata “cinta harus dimiliki” menentang bagian diriku yang memiliki konsep “mencintai bukan berarti harus memiliki”. Aku terdiam lama, menelusuri perasaanku sendiri, mengingat sebuah komitmen yang telah aku janjikan kepada diriku sendiri. Lalu aku membuka Galaksi Kinanthi.

 

 

Law of Resonance

 

... tidak ada perempuan yang lebih kuinginkan dibanding dirimu. Perempuan yang kuharap menemaniku jika kuberuntung memasuki surga yang dibangun-Nya. Aku tidak butuh 1.000 bidadari.

(Surat terakhir Ajuj kepada Kinanthi, Galaksi Kinanthi, hlm 373)

 

Matahari menggeliut tidak terlalu terik. Aku menyetop bis Bandung-Cirebon. Aku mempercepat kepulanganku ke Cirebon yang awalnya senin menjadi minggu. Sejak satu bulan yang lalu aku ingin menjenguk atau sekedar menatap wajah kedua orangtuaku. Selain itu, aku harus mengurus NPWP agar royalti dari karya-karyaku tidak dipotong terlalu banyak. Setengah perjalanan awal aku mengikuti Galaksi Kinanthi. Sesekali aku terdiam. Melihat ke jendela. Mataku kadang berdanau kecil. Sudah sekitar 2 tahun aku tak membaca novel. Dan sekarang perasaanku teraduk-aduk lewat kisah Ajuj dan Kinanthi. Cinta, pengorbanan, perlindungan, pencarian, penantian, komitmen, serta ketidakpastian. Aku tenggelam dalam keharuan.

 

Hari mulai tenggelam. Ibuku menanyakan posisiku. Karena seperti biasa, bapakku akan menjemputku jika aku pulang. Tepat jam 18 aku turun. Hp-ku bergetar, mungkin dari bapakku. Tapi dugaanku meleset... tenyata temanku. Dan seketika itu pula bapakku datang.

 

Rumah kami rumah sederhana. Kerikil-kerikil, pohon mangga, dan beberapa tanaman menghiasi halamannya. Disampingnya ada tempat bersalin. Ya, karena ibuku seorang bidan, salah satu pekerjaan mulia di muka bumi ini. Sesampainya di rumah, tiba-tiba aku disambut ibuku dengan menyinggung-nyinggung nikah. Walah... ada apa ini? Kapan? Aku hanya terdiam membisu. Bukan masalah kesiapannya, namun aku sendiri sedang ikhtiar dan tentunya memastikan seorang perempuan yang kelak mendongeng dan melantunkan ayat-ayat Allah kepada anak-anak. Seorang perempuan yang tidak ada bandingannya dengan 1.000 bidadari. Memastikan ketidakpastian, tapi dengan proses bernama kesabaran. Serial KCB yang aku tonton sore itu menguatkan keyakinanku. Tidak terburu-buru, namun juga tidak menunda-nunda. Dan hanya dengan kesabaran aku bisa melakukannya.

 

 

Penantian

 

“Nanti kalau kita ndak bersama lagi, terus kamu mau cari aku, kamu lihat aja ke langit sana, Thi. Cari Gubuk Penceng. Di bawahnya ada galaksi yang tidak terlihat. Namanya Galaksi Cinta. Aku ada di situ.”

(Ajuj kepada Kinanthi saat masih kecil, Galaksi Kinanthi, hlm 50)

 

Selasa malam. Ditemani lilin kecil aku masih menyimak Galaksi Kinanthi. Aku terus penasaran dengan halaman-halaman berikutnya. Apalagi cerita sedang menuju klimaksnya. Bagaimana akhir penantian, pencarian hampir selama 20 tahun antara Ajuj dan Kinanthi, kedua orang yang terpisah 9.000 mil?

 

“Hampir dua puluh tahun ini, jika pun tidak ada wasiat dari Mbah Gogoh, tahukah kamu Thi? Aku tetap akan mencarimu. Dan kamu tidak pernah tahu itu. Selama hampir dua puluh tahun ini kamu mengirim lebih dari 100 surat kepadaku dan aku tidak pernah tahu. Kita sama-sama ingin tahu, tapi tak benar-benar tahu. Ketika dulu, sewaktu kita masih kanak-kanak, apakah kau pikir aku menemanimu karena rasa kasihan akan nasibmu? Jika itu masih ada dalam benakmu, usirlah. Sebab, ada tidaknya kamu disampingku, tetap saja kamu menemaniku.”

 

Surat terakhir Ajuj kepada Kinanthi. Adakah dalam realita hidup yang sebenarnya kisah seperti ini? Aku bertanya dalam hati. Harapan akan bertemu, saling mencari hampir selama 20 tahun, yakin seyakin-yakinnya bahwa orang itu adalah pasangan hidupnya?  

 

 

Kesabaran

 

Menghitung hari detik demi detik

Menunggu itu kan menjemukkan

Tapi kusabar menanti jawabmu

Jawab cintamu

(Menghitung Hari, Anda)

 

23.12. Aku menutup kisah Ajuj dan Kinanthi diiringi “Menghitung Hari”-nya Anda. Ini bukan hanya novel cinta, melainkan pelajaran tentang kehidupan. Tokoh-tokohnya aku kenal betul, karena diambil dari karakter nyata. Terima kasih Mas Tasaro... it’s amazing love story.

 

Jika ada satu kata mengenai cerita Ajuj dan Kinanthi adalah kesabaran. Dan entah tema itu memang sedang menemani hari-hariku. Apakah kebetulan? Entahlah... tapi yang jelas aku sepakat dengan Ajuj, “Aku percaya, tidak ada kebetulan. Berliku-likunya kisah kita, ada yang menjadi saudara. Entahlah, apakah kamu masih percaya. Namun, perbolehkan aku dengan keyakinanku. Bahwa aku masih percaya, semua sudah direncanakan-Nya. Dia perencana terbaik, manusialah yang menentukan apa yang dia pilih dalam kehidupannya kemudian.”

 

Ada yang aneh? Ya, biasannya kita mengatakan, “Kita yang berencana, namun Allah yang menentukan.” Tapi aku yakin, bahwa apa yang kita lihat, dengar, rasakan, serta alami sekarang adalah bagian dari rencana-Nya, skenario-Nya.

 

“Menghitung Hari” berlalu, berganti “Sebelum Cahaya”:

 

Ingatkah engkau kepada

Embun pagi yang bersahaja

Yang menemanimu

Sebelum cahaya

 

Ingatkah engkau kepada

Angin yang berhembus mesra

Yang kan membelaimu

Cinta...

(Sebelum Cahaya, Letto) 

 

 

(Rabu, 23 Maret 2011. 14.25... di atas bis menuju Bandung)

 

Duddy Fachrudin


Cinta, Impian, dan Perjalanan (part # 3, habis)

Impian

Rumahku Rumah Impian

Kubangun dengan mimpi-mimpi

Di dalamnya anak-anak mengaji

Yang rindu akan pelangi

 

Rumahku Rumah Impian

Kubangun dengan mimpi-mimpi

(Prasasti Rumah Impian, 2006)

 

Perut keroncongan. Orang-orang berhamburan. Selesai sudah hari ke-2 pelatihan. Bulan bintang menyinari kami mujahid perang. Aku masih merasakan “jalan-jalan” ke neraka. Sementara temanku sembab matanya. Oh Tuhan ijinkan kami meninggalkan dunia ini khusnul khotimah. Terlalu pedih. Tak bisa kami menanggung adzab-Mu. Lindungi kami. Lindungi kami. Bulan bintang jadi saksi do’a kami malam itu.

 

Malam ke-3 kami bermalam di masjid. Supaya bisa menghemat pengeluaran. Dan paling penting agar tubuh ini bisa beristirahat lebih lama. Aku dan kawan temanku menyantap nasi goreng. Sementara temanku sendiri lebih memilih terlelap di sudut masjid. Sepasang suami istri penjual nasi goreng ternyata pernah berdagang di Ciroyom. Jadilah kami mengobrol “ngalor ngidul” sambil menyantap nasi goreng sederhana nan lezat. Nasi goreng selesai disantap. Tak lupa kami memesan satu porsi untuk temanku yang sudah terlelap.

 

Lampu masjid sudah dimatikan. Para musafir seperti kami sudah larut dalam mimpinya. Di bawah masjid orang-orang masih mendekor untuk walimah esok hari. Meja ijab kabul yang dipakai walimah tadi pagi pun belum disingkirkan karena esok masih ada hajatan serupa. Dalam gelapnya masjid aku masih bisa melihat meja itu. Dan tiba-tiba aku teringat bapak-bapak berjenggot bak Bang Rhoma. Bidadari sorga. Bidadari sorga. Lantas aku mengambil wudhu. Lalu memanjat do’a: meminta bidadari sorga.

 

Esok adalah hari terakhir. Sayang rasanya kalau dilewati dengan ngantuk seperti hari ini. Bergegas tubuh menuju sudut masjid. Beristirahat. Sebelumnya aku sempat memikirkan tugas yang harus aku kerjakan untuk esok hari: menuliskan ultimate goal. Akhirnya aku sepakat untuk menuliskan ultimate goal yang lebih berhubungan dengan nilai materi. Karena memang dari keempat nilai yang kami pelajari di pelatihan hari ke-2 ini, nilai materi lah yang masih kurang. Sementara nilai kemanusiaan, moral, dan spiritual insya Allah dapat terjaga, asalkan dapat menggenggam kuncinya. Yaitu: selalu dekat dengan-Nya.

 

Inilah ultimate goal yang aku tulis:

Alhamdulillah..., aku bersyukur pada-Mu yaa Allah, karena Engkau telah menjadikan diriku sebagai:

1.        THE WORLD CLASS Meaningful Motivator

2.        Penulis MEGA Best-Seller Internasional

3.        Orang KAYA RAYA dan DERMAWAN seperti Abdurrahman bin Auf

 

Aku punya impian membangun Rumah Impian. Maka aku harus kaya raya. Oleh karena itu, aku pun menulis 2 kondisi ideal diriku yang berhubungan dengan kaya raya. Inilah kondisi ideal diriku selengkapnya. Alhamdulillah..., aku bersyukur pada-Mu yaa Allah, karena kini aku menyadari bahwa Engkau telah menciptakan diriku sebagai:

1.        MONEY Magnet

2.        PEOPLE Magnet

3.        Laki-laki yang selalu dapat MELINDUNGI dan MEMBUKAKAN jalan bagi wanita

4.        Manusia IKHLAS

5.        Manusia yang selalu TAKUT kepada Allah Swt.

 

Tak Akan Berhenti

Aku manusia pejalan

dari kemarau ke bulan

melepas fajar menanti senja

mengejar bayanganku sendiri

 

“Jangan tinggalkan rumah,” kata Ibu

karena di sana aku lahir, besar,

dan mimpi-mimpi

tapi aku. Lompati pagar

aku ikuti jalan raya

memilih barat ketimbang timur

hanyut di sungai, terapung di lautan,

terkapar di jalanan

 

aku lelaki pejalan

tak tahu kapan mesti berhenti

(Heri H. Harris)

 

Uang semakin menipis. Angin pagi menyaksikan kami yang hanya menyantap gorengan. Lumayan. Daripada tanpa makanan sama sekali. Di hari ke-3 akhirnya cita-citaku tercapai: duduk ditengah! Karena selama 2 hari yang lalu kami selalu duduk di bagian pinggir. Kenapa di tengah? Karena lebih sejuk. Itu saja.

 

Tapi kesejukan itu dikagetkan dengan cairan kuning nan lembek yang bersarang di rambut sebelah kiriku. Temanku yang memberi tahu saat senam pagi yang membahana luar biasa. Cairan kuning nan lembek itu pun berbau tak sedap. Inikah pertanda ultimate goal aku segera tercapai? Loh apa hubungannya. Nggak ada. Iseng aja. Temanku membantu membersihkan "pertanda" di pagi hari itu. Lantas kemudian aku terbirit ke toilet membasuh dengan air suci.

 

Pada kesempatan kali ini aku hanya ingin bercerita:

Ada 2 pemuda mencintai seorang Putri. Dua orang pemuda mirip satu sama lain. Ganteng. Berpendidikan. Serta sudah bekerja. Kemudian mereka melamar sang Putri.

 

Tok tok tok. Pemuda pertama mengetuk pintu. Pintu dibuka. Disambutlah ia oleh Ayahanda sang Putri. “Assalamu’alaikum...” ucapnya santun.

 

“Wa’alaikumsalam... Eh nak Bobi, silahkan masuk.” Balas sang Ayah. Akhirnya pemuda pertama yang diketahui bernama Bobi itu dengan wajah malu-malu masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu.

 

“Kami sudah mengetahui maksud kedatangan nak Bobi... ingin melamar Putri toh?” sang Ayah berceletuk.

 

Dengan gemetar, Bobi menjawab pertanyaan “calon” mertuanya itu, “Iya Om... eh Pak.. hehe. Saya...” belum selesai kalimat diucapkannya, adzan duhur sudah berkumandang.

 

“Alhamdulillah... mari nak Bobi, kita sholat dulu. Nak Bobi jadi imam ya.” Seru sang Ayah.

 

Keringat dingin mengucur dari wajah Bobi. Akhirnya dengan kondisi cemas gemetaran, ia menyanggupi permintaan “calon” mertuanya itu. Menjelang takbiratul ihram tiba-tiba Bobi membalikkan badannya. Kemudian ia berkata, “Ayah... hehe maaf. Shalat duhur berapa rakaat ya?”

 

Beberapa menit kemudian. Bobi menangis bombay. Lamaran ditolak!

 

Tiga jam kemudian datang seorang pemuda lagi. Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, sang pemuda disambut oleh Ayahanda Putri, “Mari masuk nak Wahid.”

 

Baru saja pemuda yang bernama Wahid itu duduk, tiba-tiba adzan ashar menggema. Sang Ayah pun bersorak riang, “Alhamdulillah... nak Wahid, kita shalat Ashar dulu. Nak Wahid jadi imam ya.”

 

Dengan langkah mantap Wahid mengambil air wudhu kemudian mempersiapkan shalat ashar serta mengatur shaf. “Allahuakbar...”

 

Dan Sang Ayah menerima lamaran Wahid.

 

Aku bersama semua orang yang ada di ruangan menyimak cerita itu. Dan tentunya aku selalu mengambil hikmah dibalik maknanya. Teringat impian atau ultimate goal yang baru saja aku tulis, aku berazzam untuk tidak akan pernah berhenti melangkah sebelum mimpi-mimpi itu terwujud. Apa yang kau takutkan? Tidak ada kan? Cuma disuruh shalat doank! Iya kan? Tarik Mang...!  

 

Cinta Tanpa Syarat

Saat ku duduk di kesendirian

Di antara rindu dan asa

S’lalu terbayang dalam anganku

Senyummu yang lembut dan tulus

 

Kurindu padamu yaa Rasul

Kurindu ada di dekatmu

Ingin kujumpa sekejap saja

Meski dalam mimpi

 

Allohumma sholli 'ala muhammad

yaa robbi sholli 'alaihi wa sallim

(BPM, Rinduku)

 

Sebelum ashar air mataku membuncah kembali seperti hari kemarin. Aku menatap kosong ke depan. Perlahan air mata mengalir ke dua pipiku. Aku tak bisa bergerak. Bahkan sulit untuk mengusapnya. Iringan lagu “Rinduku” semakin membuat kedua mataku sembab. Rasulullah Saw. selalu memikirkan umatnya. Membela dengan gagah berani. Dan menjadi pencerah serta penyegar jiwa. Namun sekarang aku masih belum berbuat banyak. Rasul dihina aku diam saja. Kitab yang disampaikannya dibakar, aku hanya melongo. Islam diporak-porandakan, paling banter aku hanya berdo’a. Hanya ini. Pedih. Padahal Rasulullah Muhammad Saw. yang menghantarkan Islam kepadaku, kepada kami semua. Tanpanya mungkin kami masih jahil. Astagfirullah...

 

Andai Rasulullah Saw. di depanku aku bingung ingin berucap apa. Mungkin hanya maaf. Maaf karena banyak melakukan aktivitas yang seru namun tidak penting. Padahal ada yang lebih penting dilakukan daripada yang lebih seru.

 

Di malam pertama di atas warung internet aku berpikir tentang cinta tanpa syarat. How can someone show love over and over again when they're constantly rejected? Rasulullah Saw. melakukannya. Beliau memberikan cinta dan kasih sayangnya bukan hanya kepada kaum muslimin, namun juga pemeluk agama lain. Masih membekas kisah Rasulullah yang menyuapi si pengemis buta Yahudi setiap pagi di pasar. Meskipun dikatakan penyihir dan orang gila oleh si Yahudi itu, beliau tetap menyuapinya hingga ajal menjemputnya. Cinta tanpa syarat, inilah yang sedang aku latih.

 

Sore itu hampir tenggelam. Hari mulai gelap. Setelah maghrib training masih berlanjut. Saat sesi terakhir kami diajarkan untuk mengganti hal-hal negatif dengan yang positif kemudian menuliskannya dalam buku selama 40 hari. Agar permanen. Teknik itu juga bisa digunakan untuk mengubah kebiasaan. Insya Allah.

 

Tak terasa malam semakin pekat. Pelatihan 3 hari telah usai. Aku dan sang trainer sempat bertukar senyum dari kejauhan di saat aku sedang mengisi testimoni. Terima kasih guru.

 

Pukul 21.30 malam. Aku dan kawan temanku menunggu di masjid. Beberapa menit kemudian temanku nongol. Secepat kilat kami berjalan menuju terminal busway. Sayang oh sayang. Kami telat. Jam menunjukkan pukul 22.04. Maaf. Terpaksa kami naik bus kota menuju Blok M.

 

Aku benar-benar lelah. Kami menuju Kampung Rambutan setelah dari Blok M. Aku berada di theta. Kadang tidur kadang terjaga. Dalam bus kota menuju Kampung Rambutan aku teringat kembali perjalanan sejak di kereta di mana aku yang larut dalam renungan. Inilah perjalanan. Inilah kehidupan. Batinku. Kadang sedih, kecewa, marah, bahagia, dan suka cita. Nikmati saja.

 

Kami say goodbye dengan kawan yang dari Jakarta. Bis menuju Bandung sudah siap meluncur. Bandung kami pulang. Bandung yang nyaman. Aku berucap do’a: semoga perjalanan baik-baik saja. Lalu menutup mata. Terima kasih Jakarta. Terima kasih cinta... impian, dan perjalanan.

 

Selesai.

 

Satu jam sebelum subuh, 26 Februari 2011

 

Ucapan terima kasih: dua mujahid perang, panitia & fasilitator pelatihan, orang yayasan, pengurus masjid, supir busway dan bus kota, masinis kereta, tukang gorengan, tukang nasi goreng, teman-teman yang "sebenarnya" aku tampilkan di catatan ini namun tidak bisa aku sebutkan namanya, de-el-el.

 

Semoga banyak hal yang bisa diambil hikmahnya. Jadikan ini semua sebagai pelajaran kehidupan.

 

Salam Impian!

 

Duddy Fachrudin,

Salah seorang hamba-Nya yang berkelimpahan, insya Allah


Monday, December 5, 2011

Cinta, Impian, dan Perjalanan (part # 2)

Pernikahan

“Wahai Ali, ada tiga perkara jangan ditunda-tunda,

apabila SHALAT telah tiba waktunya,

JENAJAH apabila telah siap penguburannya, dan

PEREMPUAN apabila telah datang laki-laki yang sepadan meminangnya.”

(HR. Ahmad)

Hari pertama berlalu. Aku mendapat relasi baru. Pengalaman baru. Serta komitmen baru tentang hidup. Jujur saja, dari seluruh materi yang diberikan di hari pertama, yang paling mengena adalah tentang KOMITMEN 100%. Mungkin karena nilai utama dalam hidupku adalah komitmen, maka hal tersebut sangat mengena di diriku.

Kami mujahid perang menuju masjid. Antrian panjang mengambil wudhu terlihat layaknya pasien ponari. Jadilah kami menyantap siomay terlebih dahulu yang juga dikerubuti manusia-manusia yang kelaparan. Seseorang memakai baju koko coklat dan celana bahan “ngatung” menghampiriku lalu bertanya, “Assalamu’alaikum... Mas ada acara apa?”

Aku yang sedang mengunyah siomay menjawab, “Wah’alaikumh...salam... Ong.. winih hada puelatihan.”

“Pelatihan apa?” Bapak-bapak berjenggot lebat mirip Bang Rhoma Irama bertanya lagi.

“Uh Teh Ha Beh... grahtis Pak. Mahkannya pehsertahnya bahnyak.” Aku bicara sambil makan siomay. Lalu setelah siomay sudah aku telan semua, giliran aku yang bertanya, “Ngomong-ngomong, ada nikahan ya Pak? Tadi saya lihat di depan pintu masjid bagian bawah di dekor untuk nikahan?”

“Iya Mas. Besok ada yang mau nikah. Bahkan besoknya lagi juga ada. Jadi hari sabtu dan minggu ini ada dua pernikahan. Mas sudah menikah?”

Tiba-tiba siomay yang siap aku makan jatuh ke tanah. “Eh... apa Pak tadi?”

“Mas sudah berkeluarga?” Bapak-bapak berjenggot lebat itu mengulang pertanyaannya.

“Oh... belum Pak. Insya Allah sebentar lagi. Do’akan aja Pak.”

“Bapak do’akan Mas semoga cepat mendapat jodoh yang baik, bahkan perempuan yang kualitasnya seperti bidadari sorga.” Bapak-bapak mirip Bang Rhoma itu kemudian beranjak pergi. Sandal tipisnya menyapu aspal senayan. Ia kemudian belok di sudut kiri jalan. Dan menghilang.

Aku menyadari teman ngobrolku telah pergi saat siomay di piringku sudah habis. Tiba-tiba kedua kawanku memanggilku. Walah... saatnya shalat maghrib. Dalam antrian aku mengingat-ingat obrolan dengan bapak-bapak itu. Bidadari sorga? Adakah di dunia yang semakin amburadul ini?

 

Bidadari Sorga

Wajahnya menentramkan jiwa

Itulah bidadari sorga.

(Bidadari sorga, 2011)

Malam kedua aku dan temanku dihabiskan di sebuah kawasan di Jakarta Selatan. Kami menginap di sebuah yayasan anak yatim dan dhuafa. Jarak dari Senayan tidak sejauh dari warnet tempat pertama kali kami menginap. Namun ada yang membuat aku tidak nyaman: tubuhku diserbu nyamuk-nyamuk lapar!

Perjalanan menuju yayasan ternyata tidaklah mudah. Penuh liku dan rintangan. Ada seorang kawan lagi yang membantu kami bertiga dalam proses evakuasi ke yayasan. Aku bersamanya di atas roda dua. Sementara temanku dan kawannya bertualang di transjakarta dan bus kota. Dua pasukan ini menuju satu medan perang: ITC Fatmawati.

Aku yang berada di atas roda dua bersama kawan yang dari Jakarta ternyata melalui perjalanan yang tidak mudah. Aku sendiri merasa melalui jalan yang sama terus menerus. Menemui polisi lalu lintas yang sama yang tidak menilang kami karena aku tidak memakai helm. Sampai suatu saat di perempatan lampu merah kawanku berkata, “Maaf saya lupa jalannya.” Siiing... , tiba-tiba saja waktu seakan berhenti.

Akhirnya dua pasukan bertemu di Blok M, dan kawanku yang mengendarai motor menyampaikan kode rahasia kepada dua temanku yang akan naik bus kota. Kode rahasia bus yang harus dinaiki supaya terhindar dari musuh! Kami pun berpisah dan berjanji bertemu di ITC Fatmawati. Waktu berselang. Aku dan kawanku sudah sampai. Namun dua temanku yang naik bus kota belum kelihatan pantat dan jambulnya (maaf bosan dengan batang idungnya, hehe). Tahukah anda kenapa dua temanku itu belum datang. Kawanku yang bersamaku mengatakan, “Waduh, saya salah memberi kode rahasianya!” Siiing... , tiba-tiba saja waktu seakan berhenti.  Akhirnya yang ditunggu nongol juga.

Sebelum menuju yayasan aku memesan ketoprak buat mengganjal perut yang berdendang. Ketoprak adalah makanan khas Cirebon. Aku tanya yang dagang, tapi ternyata ia bukan dari Cirebon, tapi Tegal. Sudah dua tahun ia berjualan ketoprak di daerah itu dan hasilnya cukup buat hidupnya di Jakarta. Ketoprak selesai dibuat, kami meninggalkan mas penjual ketoprak. Say goodbye & thanks. Yayasan kami datang!

Malam sudah pekat. Ketoprak sudah habis. Aku membaringkan badan di lantai beralas tikar, lalu berucap do’a: semoga besok bertemu bidadari sorga.  

Paginya Jakarta tampak sepi. Maklum sekarang weekend, jadi mereka semua melancong ke kota sebelah untuk berlibur: Bogor atau Bandung. Aku sendiri bingung dengan pola hidup orang Jakarta. Senin-jum’at bekerja mencari uang, sabtu-minggu dihabiskan untuk belanja dan foya-foya. Dan itu berulang setiap minggu. Shopping tiap minggu, astagfirullah. Padahal banyak orang-orang miskin butuh uluran tangan kita orang-orang kaya. Mereka yang hidup di kolong jembatan perlu kita tengok dan cium kedua pipinya. Pantas saja Allah sering menimpakan bencana kepada kita, jika hidup kita seperti ini. Tidak bersyukur atas apa yang telah diberikannya.

Setelah turun dari busway kami melangkah menuju Senayan. Temanku tiba-tiba mau “melahirkan”. Mendengar temanku mau “melahirkan”, aku berkata, “Menikah itu sama seperti “melahirkan” (buang air besar, red), nggak boleh ditahan-tahan.” Dan itulah tema obrolan kami di sepanjang perjalanan menuju tempat pelatihan di hari ke-2. Jadi jodoh itu ya dijemput, bukan ditunggu. Dan hanya laki-laki sejati yang berani menjemput jodoh (mengajak menikah kepada calon pasangan hidupnya, tanpa embel-embel pacaran, red).

Sebelum masuk wisma, temanku “melahirkan” terlebih dahulu. Aku dan kawanku menunggu di luar WC masjid. Beberapa saat kemudian ada sekumpulan orang memakai kebaya dan batik. Hmm... sepertinya ini salah satu dari dua pihak keluarga yang akan menikah hari ini. Di antara mereka ada dua gadis kecil imut berjilbab ungu. Aku memandangnya lama. Cantik sekali. Mungkin seperti inilah kecantikan bidadari sorga. Atau bahkan lebih cantik dari ini.

 

Cita-cita

Mengarungi samudera kehidupan

Kita ibarat para pengembara

Hidup ini adalah perjuangan

Tiada masa ‘tuk berpangku tangan

(Shoutul Harokah, Bingkai Kehidupan)

Aku ngantuk abis di hari ke-2 ini. Terutama saat pukul 10-an sampai menjelang sesi “jalan-jalan” ke neraka. Aku juga terasa lemas. Mungkin gara-gara nyamuk-nyamuk yayasan menguras darahku. Siangnya bukannya makan, tapi malah asik di stand buku anomali. Baca-baca. Ngobrol-ngobrol sama yang jaga stand. Lalu... beli. Sebenarnya aku beli buat dikasihkan ke seseorang. Ia minta souvenir, tapi aku beliin buku. Yah, buku lebih penting daripada souvenir. Lagian itu buku unik, nggak ada di toko buku.

Sesi “jalan-jalan” ke neraka membangunkan tidurku. Parfum mayat di kain kafan menyayat urat nadiku. Aku tak berdaya. Aku seperti mau mati saja. Seluruh peserta meraung kesakitan. Lumpur nanah panas menohok tenggorokanku. Aku mau muntah. Namun entah kenapa aku terus meminumnya. Aku diceburkan ke panci berisi lahar. Dagingku matang. Tulangku mencair bak lilin yang meleleh. Aku menangis. Lidahku terus menyebut nama-Nya. Memohon pertolongan-Nya. Meminta ampunan-Nya.

Aku masih mencium parfum mayat. Aku hirup sepuasnya. Inilah diriku saat aku mati. Yang kemudian digerogoti pemakan mayat. Dan dihimpit tanah lembek, menyatu dengannya.

Hari ke-2 pelatihan mengingatkan diriku saat mencari dan menemukan Islam. Sebuah perjalanan mencari kebenaran dan menguak kebohongan-kebohongan. Beberapa tahun lalu. Beberapa tahun lalu. Hingga menjadi diriku yang sekarang yang sulit didefinisikan. Islam yang menjadi furqan antara haq dan bathil. Islam yang lebih mendekatkan kepada Allah dan Rasulullah serta para sahabatnya. Islam di mana Allah sebagai tujuan. Insya Allah.


to be continued...

 

Kamar Sunyi--Kampus, 24 Februari 2011

Kalau kita memang merasa banyak "PR" yang harus kita kerjakan, apakah itu berkaitan dengan diri kita sendiri, keluarga, masyarakat, dan Islam ini... lantas kenapa kita masih terlena dengan urusan-urusan yang kurang bahkan tidak penting? Ah... hidup ini sangat sebentar dibandingkan kehidupan kita selanjutnya yang tak terhingga. Kalau saat ini kita hidup sesuka kita, maka Allah pun berhak suka-suka terhadap kita.


Tenangkan Dirimu Sejenak

Satu bulan yang terasa sempit. Desember 2012. Di mana di akhir bulan itu batas akhir pendaftaran forum Skripsi. Dan kini masih ada 3 minggu lagi. 3 minggu untuk selamanya. Bukan untukku, tapi lebih untuk orang-orang yang mencintaiku.

Di lain pihak, entah apakah ini ujian kefokusan atau berkah yang Allah berikan kepadaku. Aku dan tim menjadi finalis ajang kompetisi bisnis se-Indonesia. Wow... awal yang tidak pernah terpikir olehku. Karena aku merasa bukan orang yang suka berkompetisi, bahkan need of achievement di EPPS saja 0 (nol).

Tapi entah aku tertantang, untuk bisa melakukan yang lebih baik. Karena aku ingin mengukur sejauh mana potensi bisnis dalam diriku. Mungkin kalau hanya mengisi pelatihan (terutama tentang hipnosis & hipnoterapi) sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Tapi mendatangkan peserta lebih banyak dari pelatihan sebelumnya yang belum aku lakukan secara maksimal. Pelatihan? Ya, usahaku di bidang pelatihan, sesuai dengan keilmuanku: Psikologi.

Lalu?

Aku merasa kelebihan dopamin. Motivasi menggebu-gebu, kerja berlebih... Tapi setelah itu aku berpikir kembali: untuk apa semua ini?

Sedetik yang lalu ada seorang temanku yang sedang mengambil Metpen (Proposal Skripsi) dan menjadikan aku sebagai subjek penelitiannya. Proposalnya berjudul: Regulasi Diri Mahasiswa Yang Kuliah Sambil Bekerja Dengan IPK Di Atas Rata-rata.

"Jadi kamu jarang belajar?" Dia mengambil kesimpulan.
"Ya seperti itu... Belajar paling di kelas, dsikusi sama dosen. Kalau udah di kosan capek dan tidur." Sambutku.

"Kalau ujian gimana?" Tanya dia lagi.
"Tergantung mata kuliahnya. Kalau soalnya hafalan, saya belajar, tapi kalau pemahaman, saya nggak belajar." Saya menjawab polos.


Aku kuliah di Psikologi Unisba yang padat, nilainya susah, lulusnya lama-lama, dan dengan status seorang remaja yang berada pada titik nadir kehidupan. Jadi aku nggak pernah memikirkan IPK tinggi. Aku sendiri nggak ngerti kenapa nilaiku bagus-bagus. Aku hanya tertarik pada perilaku manusia dan yang paling penting dengan ilmuku aku bisa membantu orang-orang yang pernah berada di titik nadir tersebut. Rasanya nggak enak berada di situ. Sangat tidak menyenangkan. Tapi itulah hidup, hidup yang harus kita jalani.

Dan sekarang aku bekerja dan menulis buku pun supaya bisa membantu orang banyak. Cuma itu. Cuma itu.

Dan kini aku hanya ingin bertanya kembali pada diriku? Untuk apa semua ini... untuk apa semua ini?


6 Des 2011

Terima kasih hidup. Terima kasih kehidupan :)

  

Sunday, December 4, 2011

Master Map for Psychology [3rd Ed]

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Other
Author:Duddy Fachrudin, dkk
Diktat kuliah Tingkat I Psikologi Unisba...

Apa kata mereka tentang Master Map:

Wah Master Map TOP dech, SANGAT MEMBANTU BANGET. Apalagi kalo udah kepepet dijamin ngebantu banget. Master Map SINGKAT, PADAT, & JELAS. Kalo bisa Master Map jangan dibuat untuk semester awal aja... tapi sampai semester 6 lah... Hehehe...
(Seni Rachmawati, Psi’09)

BUKU YANG PALING PENTING BUAT BISA MENIKMATI IPK > 3.00. Kata-katanya simple sehingga mudah dimengerti. Esay Inspiratifnya enak banget buat dibaca.
(Muhammad Astiyassa Hidanayu, Psi’10)

Master Map itu MEMPERMUDAH kita dalam belajar karena materinya dibuat
LEBIH RINGKAS dan MUDAH DIMENGERTI.
(Maya Dwiayuningtyas, Psi’09)

Alhamdulillah... dengan Master Map belajar saya menjadi LEBIH RINGAN.
Bahasanya MUDAH DIMENGERTI dibanding diktat-diktat yang diberikan dosen...
(Larasati Putri Purwono, Psi’10)

NICE.. !Bisa ngebantu lebih memahami materi-materi kuliah di psikologi, terutama semester-semester awal. GAK PERLU NGERANGKUM LAGI... LEBIH SIMPLE BUAT NGAFALINNYA.
(Yulia Irawati, Psi’09)

Kepake kalo mau kuis, apalagi UTS atau UAS. Gak usah baca buku yang tebel-tebel. SEMUA ADA DI MASTER MAP...
(Seruni Yuniarti, Psi’09)

Master Map SANGAT MEMBANTU SEKALI saat kuliah di Psi Unisba... Ulasan materi yang lengkap MEMUDAHKAN SAYA dalam BELAJAR. Thanks Master Map from AHAI...
(Andri Kardhika Erwin, Psi’10)

CONTOH-CONTOHNYA lebih simple. Jadi buat kita MAKIN PAHAM dengan materi...
(Nuke Mayorita, Psi’09)

Master Map cukup MEMBANTU kita MERIVIEW saat mau ujian. Memang isinya tidak selengkap dan sejelas buku, TAPI sama bergunanya seperti mind map untuk ngebantu kita MENGINGAT MATERI YANG BANYAK.
(Risma Riandini, Psi’09)

Berkat Master Map, belajar saya SEMAKIN MUDAH, dengan penyampaian materi yang ASYIK dan singkat, namun JELAS, serta MUDAH DIPAHAMI. Makasih banyak Akang Teteh...
(Dewi Rachmawati, Psi’10)

---------------------------------------------------------------------------------------

BONUS: CD mata kuliah sampai semester 8, jurnal, ebook psikologi, tips & trik kuliah, & MANY MORE...

SENSATIONAL BONUS: Voucher Basic Clinical Hypnotherapy senilai Rp.200.000,-

Harga: Rp. 80.000,-

Pemesanan: Indri (0852-94-2222-34)

*100% hasil penjualan akan disumbangkan secara langsung maupun dalam bentuk kegiatan sosial melalui Keluarga Besar Rumah Impian Indonesia.

-Salam Berbagi... Salam KBRII-

What you FOCUS ON, it will be EXPAND!

I.K.H.L.A.S : Indahnya Ketika Hanya terLintas Allah Semata

[Spiderman 2 Quotes] Dr. Otto: "Parker... Now I remember you. You're Dr. Connor's student. He tells me you're brilliant. He also tells me you're lazy." Peter: "I'm trying to do better." Dr. Otto: "Being brilliant's not enough, young man. You have to work hard."

"Allahumma yassir wala tu assir..."

Cinta, Impian, dan Perjalanan

Ada apa denganmu? Ada apa dengan langkahmu?

Bukankah ini yang kau inginkan? Bukankah ini yang kau impikan?

 

Berbulan-bulan dirimu menari di atas duri yang tajam. Kini sudah saatnya kau melenggok mesra di atas permadani.

Beriuhkan senyum dan tepuk tangan orang-orang. Dan pastikan suara kelam itu hilang.

 

Beberapa hari lagi malaikatku. Beberapa hari lagi...

Karena itu bantu aku terbang dengan sayapmu. Sembari meneduhkan diri di istana awan.

 

Beberapa hari lagi impianku. Beberapa hari lagi...

Karena itu tunggulah aku. Aku baru bersiap dengan ransel dan sepatuku.

(Menanti Awal Pendakian, Suatu hari di 2007)

Kereta

Kamis siang itu aku bersama temanku menuju stasiun. Kami menyapa wanita gerbong, lalu kemudian duduk di 10 A dan 10 B. Argo-Parahyangan mulai bersiul... lambat laun rodanya menari di atas rel. Kereta berangkat dengan tujuan Gambir, Jakarta. Mengantar kami mengikuti sebuah pelatihan. Jakarta... Aku berucap do’a. Semoga perjalanan baik-baik saja.

Kalau ada yang mengatakan aku bahagia saat itu adalah sebuah kebohongan besar. Bahkan bagian diriku yang mencoba menghiburku tak kuasa pada bagian diriku yang merenung sepanjang perjalanan. Dan aku memilih yang kedua dengan menghadapkan wajahku ke jendela; melihat sawah, jurang, realita, serta anak-anak yang bermain bola. Mereka asik bermain. Bebas. Bahagia. Tertawa. Seperti saat aku kecil yang menyepak kulit bundar setelah ashar sampai maghrib. Tapi kini aku bukan mereka atau aku kecil. Aku kini adalah aku yang ada di kereta dan termenung. Itu saja.

Aku masih terlelap dalam renungan. Mengabaikan petugas yang menawarkan nasi goreng dan minuman. Dalam renungan terngiang-ngiang sebuah lirik yang sering aku dengar dalam dua minggu ini:

Love is so funny when you get hurt and you're starting to laugh 

just standing alone now figuring why everything was going so fast

and all you've wanted was someone and love will take care for the rest

like I can do...like I want to...for so long...

Saat itulah tiba-tiba terlintas untuk melakukan solo avonturir. Petualangan sendiri bersama raku--ransel kuningku atau Nordwand 30 liter-ku. Rencana awal tentu saja ke Timur. Aku bisa ke Jogja, Semarang, Solo, sampai Surabaya. Aku bisa melakukannya semester ini, karena aku hanya mengerjakan skripsi. Petualangan seminggu! Atau bahkan lebih... menjauh dari Bandung yang nyaman dan melepas kepenatan.

Aku juga memikirkan untuk meninggalkan Bandung seusai kuliah. Aku butuh kehidupan yang lebih keras lagi. Aku sudah mempersiapkan rencana dan komitmen untuk bergabung dengan salah satu lembaga training dan konsultan terbesar di negeri ini. Tentunya aku akan banyak belajar. Ya!

Aku terjaga dari lamunan saat Argo-Parahyangan menyapa Cikampek. Saat itu pukul 16.45-an. Kemudian berdikusi ringan dengan temanku; seputar buku yang ia baca dan juga rencana petualanganku. Tak lama kemudian gerbong-gerbong menyentuh Bekasi. Dan pukul 18.15 tepat, Jatinegara menampakkan wajahnya yang disinari senja sore. Kami turun sembari mengucap syukur. Dan angin Jatinegara menyambutku dengan membisikkan kata-kata: kamu akan bahagia, percayalah


Jakarta

Kotak-kotak teka-teki

Masih kosong tak berisi

Berulang kali, aku menyeru

Yang datang terus debu

O, cinta yang dilanda kemarau

Adalah luka dalam mimpi kemilau

: sempurnalah kesunyianku!

(Toto ST. Radik)

Sepertinya aku butuh sepatu lapangan. Supaya nyaman saat bertualang. Itulah yang aku pikirkan saat berjalan menuju sebuah kawasan di Jakarta Timur. Selain temanku, kami bertemu seorang kawan. Ia kawan temanku yang juga ikut pelatihan. Jadilah kami bertiga bertualang, layaknya mujahid perang.

Sesampainya di daerah sekitar Pisangan, aku langsung istirahat. Sebelumnya sholat, makan, memandang malam dan kolong jembatan, serta menyapa dan menjawab seorang teman via short message service. Aku pun berusaha menulis atau membaca karangan, namun temanku sudah terlelap. Jadilah aku ikut berbaring di sebuah lantai di atas warung internet. Lampu dimatikan. Aku termenung perlahan tentang cinta tanpa syarat. Cinta tanpa syarat... lalu aku terlelap panjang.

Fajar pagi mulai menyapa langkah kaki kami bertiga. Aku perlahan mulai tersenyum menampakkan wajah bahagia. Apalagi ini Jum’at, hari tersuci dalam Islam. Maka aku menyambutnya dengan cinta. Meskipun semua orang tahu sendiri, Jakarta pagi; siap-siaplah dengan ledakan mobilisasi orang, kemacetan, serta polusi.

Terminal busway sesak penuh orang. Seorang perempuan berkata, “Permisi... permisi... ,” yang lainnya mendorong-dorong. Namun ada juga yang santai sambil mendengarkan sesuatu di earphone-nya. Inilah Jakarta pagi. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka melangkah cepat mengejar waktu demi menjemput materi. Namun sayang, kesannya sendiri-sendiri, tanpa sapa, tanpa empati.

Kami berhenti di masjid Agung. Sebuah kesalahan, karena harusnya turun di terminal sebelumnya. Jadilah kami jalan ke senayan. Sesampainya di senayan, kami masih harus mencari tempat pelatihan. Di manakah gerangan? Tubuhku diusap debu jalanan serta knalpot jalanan. Menyatu dengan keringat yang bercucuran. Tak lama setelah tanya sini tanya situ, kami, tiga sekawan sampai di tempat tujuan.


Pelatihan

Sebentuk pelangi yang menemani

Dialah perempuan bidadari

(sebuah tulisan dalam “Perempuan Bidadari”)

Aku salah satu dari 900-an peserta dalam pelatihan. Kami semua masuk dengan berlari, layaknya pemain football america ketika masuk lapangan. Iringan musik menemani senam pagi. Membahana luar biasa layaknya orkestra. Sang pelatih muncul. Ia lebih pendek dariku, namun sangat berenergi. Aku terkesima takjub dengan penyampaiannya. Keren. Inilah pelatihan terbesar yang pernah aku ikuti.

Saat sesi latihan aku bertemu seorang guru dari Bandung. Pertama kali yang ia katakan adalah, “Masih lajang?” Haha... aku mengangguk. Ketika aku mengatakan aku dari Psikologi Unisba, ia berucap tentang seorang dosen. Aku kembali mengangguk, mengenalnya. Ia adalah salah satu dosen yang aku kagumi, karena pembawaannya lincah. Tiga kali aku dibimbing oleh dosen itu. Terakhir saat semester ganjil yang lalu. Dan aku diberi A.

Saat berjalan hendak sholat Jum’at aku bertemu lagi dengan guru itu. Tiba-tiba aku melihat sebuah tulisan pada jaket yang dikenakannya. Sebuah identitas yang menunjukkan nama sekolah tempat ia mengabdi. “Bapak berarti mengajar... ?” aku langsung menanyakannya. Dan ia mengangguk. Pantas saja ia menanyakan kepadaku tentang sang dosen, karena kedua anak sang dosen itu diajar olehnya. Aku mengenal salah satunya. Pertama kali aku mengenalnya saat ia bertanya Statistika. Ah... tiba-tiba aku jadi bersemangat, melupakan lamunanku di kereta kemarin. Kebetulan? Aku tak tahu... karena aku juga tak ingin membahas teori itu lagi. Tapi yang jelas, terik matahari menjadi saksi kebahagiaanku saat itu.

Kamu akan bahagia, percayalah... Bisikan angin Jatinegara kembali mengelus kedua telingaku.

 

...to be continued

Istirahat setelah bertualang... Senin, 21 Februari 2011

Duddy Fachrudin


Gigi-gigi Maryam dan Zahra

Meskipun jam menunjuk angka 11, siang ini langit tak begitu cerah, bahkan agak hitam. Namun begitu tak menyurutkan Maryam dan Zahra untuk memeriksakan giginya di balai desa Sekepicung Dago Atas. Kakak adik yang hanya berbeda 10 menit kelahiran itu begitu antusias mendengar di desanya akan ada pemeriksaan dan pengobatan gratis.

“Maryam... Zahra... Ummi dapat kabar dari Pak RT kalau besok ada pengobatan gratis di balai desa.” Sambil menyiapkan makan siang, Ummi Fatimah mengabarkan informasi yang baru saja didapatnya dari Pak RT pagi tadi.

“Oyah Mi? Zahra mau dong dipelikca... hmm... emang bica pelikca apa aja Mi?” Zahra yang usianya udah hampir 7 tahun, namun masih pura-pura cadel ini menanggapi. Ummi hanya geleng-geleng saja mendengar tingkah Zahra. Padahal sebenarnya Zahra sudah bisa mengucapkan R dan S sejak 2 tahun lalu. Namun, demi menarik perhatian Umminya Zahra suka pura-pura cadel. Itulah Zahra, berbeda dengan Maryam yang 10 menit lebih tua darinya. Ia bicara seadanya, tidak dibuat-buat, punya kemampuan analogi yang bagus dan peka terhadap situasi yang ada di sekelilingnya. Misalnya saja, ketika ia dan Umminya belanja ke pasar, tanpa diminta Ummi, Maryam langsung membawakan barang belanjaan Umminya.

Maryam yang kebetulan membantu Ummi memandang adiknya dan kemudian ke Umminya, “Ummi, aku dan Zahra kan bentar lagi sekolah, tapi Zahra masih pura-pura cadel tuh...” Yang diomongin langsung ngebales, “Yee bialin Kak Maryam.”

“Ya sudah jangan ribut. Bentar lagi kita makan siang. Zahra, nanti kalo sudah masuk sekolah ngomongnya biasa aja ya. Janji ama Ummi oke..,” Ummi menjulurkan kelingking tangan kanannya kepada Zahra. “Janji, Mi,” Zahra membalas dengan kelingking tangan kanannya. “Janji wanita sholehah!” Ummi dan Zahra saling berjanji.

*****

Siang itu. “Kak, Zahra mau pelikca gigi aja. Soalnya Ummi kemalin bilang ada doktel giginya juga di balai desa,” Zahra menyiapkan sandalnya. “Iya boleh. Nanti kakak juga mau periksa gigi sama mau ikut numpang ditimbang,” Maryam yang dari tadi sudah siap menunggu Zahra.

Maka, kakak beradik itu kemudian bilang ke Umminya untuk periksa gigi. “Ummi g ikut aja sekalian?” Wajah polos Zahra terlihat memohon pada Umminya. “Ummi jaga rumah aja ya. Nanti kalau sempat menyusul. Ummi sedang menyelesaikan cerpen buat dikirim nanti sore via email ke majalah.” Zahra yang masih belum ngerti cerpen dan email itu apa hanya ber-ooo... Akhirnya Maryam dan Zahra pun siap melangkah menuju balai desa. Sebelum berangkat tiba-tiba Maryam mengangkat kedua tangannya dan merapihkan jilbab Zahra. Ummi tersenyum melihat kedua malaikatnya itu.

Suasana di balai desa cukup ramai. Maklum selain ini hari minggu, seluruh warga Sekepicung tak mau kelewatan pengobatan yang dilakukan oleh salah satu badan amal di sebuah kampus kota Bandung ini, apalagi tentunya gratis.

“Maryam dan Zahra setelah ini,” seorang petugas berompi oranye memanggil Maryam dan Zahra. Maryam yang sedang melihat dan mendengar obrolan ibu-ibu di sekelilingnya langsung menyentuh pundak adiknya. Kakak beradik itu menuju meja pemeriksaan. Terlihat seorang perempuan berkacamata, berjilbab ungu, dan berusia 25-an sedang memeriksa gigi seorang ibu-ibu paruh baya. Sesekali ia bertanya kepada ibu itu.

“Ibu, coba liat yang bagian kirinya,” Perempuan meminta ibu itu membuka mulutnya.

“Waduh neng, maaf... ibu malu. Yang sebelah kiri lebih jelek dari yang kanan. Giginya udah rusak. Ibu juga kalo makan nggak pernah pake gigi yang sebelah kiri. Tapi sebenarnya ibu pengen berobat, tapi nggak punya uang.” Ibu itu menyentuh pipi kirinya dengan tangan kanannya.

“Nggap apa-apa kok Bu. Biar Vivi liat dulu ya...” Perempuan yang ternyata bernama Vivi mengajak kembali ibu itu untuk membuka mulutnya.

Akhirnya sang ibu dengan malu-malu membuka mulutnya. “Oh... iya. Gpp... ibu maaf memang gigi bagian kiri ibu sudah rusak... hmm... Memang lebih baik untuk dicabut seluruhnya dan kemudian dipasang gigi tiruan.” Vivi berusaha menyampaikan kondisi gigi sang ibu dengan hati-hati.

 

Dahi sang ibu terlipat, “Iya neng... inginnya ibu seperti itu. Ini salah ibu juga dari kecil nggak pernah diurus gigi ibu. Malah ibu baru gosok gigi saat SMA. Haduh gimana ya neng... katanya ganti gigi itu mahal sampai 4 juta. Ibu nggak punya uang, kepake buat anak-anak sekolah.”

“Oh...” Vivi hanya bisa memahami kondisi ibu. “Tapi coba aja di Rumah Sakit di tempat Vivi belajar bu, di sana lebih murah daripada di tempat lain. Apalagi kalau ibu mengganti gigi ibu seluruhnya bisa lebih murah lagi daripada mengganti satu persatu.”

“Iya neng, malu ini juga. Apalagi ibu teh suka ngisi pengajian. Jadi suka nggak pede... salah ibu ini.”

“Ya udah gpp bu. Ibu ambil hikmahnya saja. Kan ibu bisa ngasih tau ke putra-putri ibu untuk menjaga giginya sejak kecil,” Vivi mencoba menyemangati sang ibu.

Maryam yang sejak tadi menyimak obrolan itu mengangguk-angguk. Sesekali ia mengetuk-ngetuk giginya dengan jari telunjuknya. Harus dirawat nih gigi... katanya dalam hati, kalau enggak nanti rusak, dan kalau udah rusak harus dicabut semuanya, dan diganti yang baru...

Vivi kemudian meminta nomor HP sang ibu agar kemudian bisa dirujuk ke dokter yang bisa menanganinya. Ia tersenyum kepada sang ibu, dan mengambil air mineral di sampingnya. Kerongkongannya terasa dahaga setelah melayani 30 warga sejak jam 8 pagi. Ia mengambil nafas sejenak... pikirannya kemudian monolog: alhamdulillah bisa banyak belajar dari warga di sini dan bisa berbagi kepada orang-orang.

Tibalah giliran Maryam dan Zahra. Maryam membiarkan adiknya diperiksa duluan. Karena ia bisa melihat mimik wajah Zahra yang tampak bersemangat sekali. Berbeda dengan sang ibu yang malu-malu memperlihatkan giginya, Zahra tanpa diminta langsung nyengir menampakkan giginya kepada Vivi. Vivi tertawa melihatnya.

“Halo adik kecil, namanya siapa?” Dengan wajah tersenyum Vivi menyapa Zahra.

“Aku bukan anak kecil lagi. Aku udah besar. Bentar lagi sekolah. Namaku Zahra, dan ini kakakku, namanya Kak Maryam.” Kali ini Zahra menjawab agak berbeda dari kebiasaannya, karena ia tidak mau dibilang anak kecil.

Vivi masih tersenyum. Otot pipinya tertarik ke atas, sementara matanya yang dibalut lensa berbingkai menyipit. “Zahra... wah senang bisa ketemu Zahra dan Maryam. Nah, kakak namanya Vivi. Salam kenal...” Binar mata Vivi menatap kedua kakak beradik itu. “Zahra duluan ya...? Ya udah sekarang buka mulutnya lagi.” Vivi membuka mulutnya meniru apa yang dilakukan Zahra sebelumnya.

“Emangnya Zahra ada yang sakit ya giginya?” Tanya Vivi.

“Nggak Kak. Cuma mau diperiksa aja.” Balas Zahra.

“Oh gitu... gosok giginya teratur ya?”

“Iya. Ummi bilang Zahra dan Kak Maryam harus gosok gigi habis makan. Kalo nggak nanti banyak kumannya.”

Vivi mengambil alat periksa yang menyerupai cermin kecil bergagang. Sebelumnya alat tersebut dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol dan kapas. Ia memasukkan alat itu ke dalam mulut Zahra. Mengecek gigi sebelah kiri dan kanan, sebelah atas dan bawah.

“Hmm... bagus. Tinggal nanti sikat giginya sampai ujung ya supaya bersih,” Vivi menunjuk kedua pipinya dengan telunjuk tangan kanan dan kirinya. Zahra nyengir dan mengucapkan terima kasih kepada Vivi.

Sekarang giliran Maryam. Kakak Zahra itu cerita kalau ada satu giginya di sebelah kanan goyang mau tanggal. Tapi Maryam nggak berani mencabutnya. Ia juga belum bilang ke Ummi masalah giginya itu karena ia baru merasakan giginya goyang 3 hari yang lalu.

Setelah mendengar cerita Maryam, Vivi mengetuk-ngetuk gigi yang dimaksud dengan ujung gagang alat periksanya. “Iya betul, ini memang udah goyang dan memang harus dicabut. Soalnya nanti akan tumbuh gigi baru. Kalo nggak cepat-cepat dicabut, gigi barunya malah tumbuhnya ke samping.” Ujar Vivi.

“Kak Vivi bisa bantu nyabutnya?” Maryam menatap Kak Vivi.

“Nanti bisa dibantu sama kakak yang lain yang udah boleh nyabut gigi Maryam,” Vivi tersenyum ke arah Maryam.

“Um... ternyata bukan gigi yang rusak aja ya Kak yang harus dicabut. Giginya Maryam yang goyang ini juga harus dicabut.”

“Gigi yang rusak?” Vivi mengernyitkan dahi.

“Iya, tadi Maryam ngeliat dan ngedengerin Kak Vivi meriksa gigi ibu itu.” Maryam bersemangat.

“Oh iya. Gigi yang rusak harus dicabut dan dibuang, serta lebih baik diganti dengan gigi tiruan untuk kasus yang giginya sudah nggak bisa tumbuh dengan yang baru.” Vivi memberi edukasi kepada Maryam, “Makanya kita harus merawat dan memelihara gigi dengan gosok gigi dengan teratur dari kecil. Seperti yang Ummi kalian bilang...” Perempuan berilbab ungu itu menambahkan.

Tiba-tiba Maryam menyentuh bibirnya, “Kalo kata Ustad Zaki, bukan gigi yang rusak yang harus dibuang. Tapi sifat sifat dengki, kikir, dendam, pemarah, murung, dan malas yang harus dihilangkan. Soalnya itu sifat jelek manusia. Yang jelek harus diperbaiki, dan diganti ama yang bagus. Sifat yang bagus... kayak... hmm... Kak Zaki eh Ustad Zaki bilang kayak semangat, memberi dan menolong orang lain, dan rajin belajar...”

Jarum jam di tangan kiri Vivi menunjuk pukul 11.30. Terdengar gema bedug adzan duhur. Beberapa detik kemudian sayup-sayup takbir dan kalimat tauhid mengajak orang-orang untuk sesaat menghentikan aktivitasnya dan beralih ke wujud penyembahan yang wajib dilakukan setiap umat Islam. Awan mendung yang tadinya menyelimuti langit Sekepicung perlahan bergerak ke arah barat. Lalu berganti biru cerah... secerah hati para warga Sekepicung yang mulai bersiap untuk sholat duhur.

Vivi membuka kacamatanya, menyeka kedua matanya yang sedikit berdanau.

*****

Andai bisa ku mengulang waktu hilang dan terbuang. Andai bisa perbaiki sgala yang terjadi. Tapi waktu tak berhenti, tapi detik tak kembali. Harap ampunkan hamba-Mu ini... (Opick)

01-11, 2011

Duddy Fachrudin