Monday, December 31, 2007

The Choices

“Apa pun yang menjadi penghalang, seberat apa pun perang batin kita… Kita selalu punya pilihan. Pilihan kita yang menjadikan diri kita. Dan kita selalu bisa memilih untuk melakukan yang benar.”

Kata-kata itu menjadi epilog sunyi menutup kisah Harry Osborn yang telah membantu Peter Parker dalam menghadapi Venom dan Flint Marko. Kematiannya meninggalkan orang-orang yang mencintainya dan juga sebuah pesan moral kepada siapapun yang menonton Spidey 3. Pesan moral yang selalu saya ingat sampai sekarang, yaitu tentang pilihan. Pilihan untuk melakukan yang benar.

Entah sudah berapa kali saya menonton sekuel terakhir dari jagoan laba-laba ini. Semua filmnya menginspirasi saya. Kata-kata paman Ben dalam film pertama pun masih terus mengiang dalam pikiran alam bawah sadar saya. Namun kali ini saya tidak ingin berbicara tentang spirit yang ditularkan paman Ben kepada Peter itu, tapi spirit Harry yang sudah menolong Peter dan Marry Jane di saat-saat genting.

Kita selalu punya pilihan karena hidup adalah pilihan. Harry awalnya tidak ingin membantu Peter akibat dendam karena menganggap Peter membunuh ayahnya. Tapi setelah mendapat penjelasan dari pelayan yang sudah mengabdi bertahun-tahun di rumahnya, ia tersadar. Ia akhirnya memilih berjuang bersama Peter untuk menolong Marry Jane. It is right choice, isn’t it?

Apa yang terjadi jika ego dan perasaan dendam Harry yang muncul? Apakah ia bisa memilih untuk berbuat seperti itu?

Saat ini lingkungan menghakimi manusia. Berbagai bencana alam menghantam bumi. Banjir, tanah longsor, dan gelombang pasang bergantian mengamuk. Cuaca tidak stabil. Bibit-bibit penyakit bermunculan menggelinangi darah manusia yang sudah semakin parah. Ada yang salah?

Apa yang terjadi jika manusia-manusia tidak rakus membabat hutan? Apakah lingkungan akan memilih memberikan kesejukan daripada dentuman jika manusia bersikap santun terhadap alam?

Saya yakin, jika manusia tidak mengikuti ego demi kepuasaan akan rupiah hasil merusak alam, mereka atau kita sudah memilih untuk melakukan tindakan yang benar. Penebangan hutan ilegal di Indonesia memang kian parah. Hanya untuk memenuhi perut, penjahat-penjahat rela mengorbankan anak bangsa yang tak berdosa.  

Setiap pilihan yang kita pilih akan menimbulkan konsekuensi tersendiri. Dan dua konsekuensi yang pasti tidak terlepas dari efek positif dan efek negatif. Mana yang akan kita pilih? Harry Osborn sudah melakukannya, walau ia akhirnya tiada. Sudah sepantasnya diri ini malu telah merusak alam–anugerah yang telah Allah berikan untuk kelangsungan hidup manusia. Inginkah pilihan-pilihan dalam hidup kita bisa membuat orang lain bahagia? Mengerti dan mencintai alam adalah salah satunya.

 

Belumlah terlambat untuk mengerti

Dan belum terlambat untuk menumbuhkan cintaku

(Padi dalam "Belum Terlambat" di album ”Tak Hanya Diam”)

 

Alang Nemo

Saat bumi meringis dalam keindahan pagi

di penghujung 2007


Tuesday, December 18, 2007

Dari Salabintana Sampai Cibodas (part # 1)

Tujuan akhir dari sebuah pendakian gunung adalah bukan mencapai puncak gunung, melainkan pulang ke rumah dengan selamat!

 

"Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru…”

 

Kata – kata itu diucapkan Soe Hok Gie sebelum keberangkatan menuju Puncak Mahameru 16 Desember 1969. Namun sayangnya, setelah bersimpuh di Puncak Para Dewa tersebut, Soe yang turun terakhir dari puncak bersama Idhan Lubis meninggal dunia akibat menghirup gas beracun.

 

Kematian Soe Hok Gie merupakan salah satu dari sekian banyak kecelakaan yang menimpa para pendaki gunung, baik mereka yang pemula bahkan yang sudah sering mendaki seperti Soe. Berbagai tragedi di gunung tersebut melecutkan Wanadri yang menamakan dirinya sebagai perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung untuk mengadakan Sekolah Pendaki Gunung (SPG). Sejak 1973 Wanadri mengadakan SPG untuk berbagi pengetahuan bagaimana caranya agar mendaki gunung dengan aman dan nyaman.

 

Selama 8 hari (8 – 15 Juli 2007), saya termasuk dalam 41 peserta mengikuti SPG Wanadri Gede – Pangrango. Sebelum keberangkatan, kami melakukan tes kemampuan dasar, tes fisik dan tentunya tes medis. Poin ketiga ini merupakan hal yang wajib dilakukan bagi siapa saja yang akan melakukan pendakian. Berbagai perlengkapan pun harus kami siapkan seperti ransel, pakaian lapangan, perlengkapan bivak dan tidur, perlengkapan masak dan makan, perlengkapan navigasi, perlengkapan lain seperti MCK, peralatan jahit, obat – obatan pribadi dan 18 paket makanan sebagai perbekalan.

 

4 Hari di Camp Salabintana 

 

Minggu (8 Juli) jam 6 pagi kami berangkat dari Sekre Wanadri di Jl. Aceh Bandung dengan tujuan Salabintana. Sekitar 9.45 kami sampai di Pondok Halimun (± 1200 mdpl) lalu dikumpulkan dengan para peserta yang mendaftar di Jakarta dan dibagi dalam 9 kelompok. Peserta SPG yang berjumlah 41 orang sendiri berasal dari berbagai kalangan, dari mulai siswa SMA sampai bapak – bapak berumur 44 tahun, namun kebanyakan dari kami adalah mahasiswa.

 

Selama 4 hari kami dibekali berbagai materi dasar yang diperlukan bagi seorang pendaki gunung. Materi – materi tersebut mencakupi : perencanaan perjalanan, perlengkapan perbekalan, iklim medan dan penaksiran, kesehatan perjalanan dan penanganan gawat darurat, navigasi darat, pengantar ilmu survival, bootani dan zoologi praktis, tali temali, pengenalan konservasi, kesadaran lingkungan, dan manfaat hidup di alam terbuka. Para pemateri berasal dari alumni – alumni Wanadri, tim dokter Atlas  Medical Pioneer (AMP) FK Unpad dan tim pelestari Taman Nasional Gede – Pangrango.

 

Beberapa hari sebelum SPG, saya mendengar berita tentang tewasnya salah seorang pendaki di Gunung Ciremai. Dikabarkan dia tewas akibat hipotermia karena cuaca buruk pada saat itu. Kemudian saya mendapatkan informasi lagi bahwa dia hanya membawa bekal 20,000 untuk mendaki puncak Ciremai tersebut!

 

Setelah mengikuti materi dan simulasi dasar, saya yang ”masih” tergolong pemula dalam mendaki gunung sadar bahwa mendaki gunung bukan sekedar memakai kaos oblong, beralaskan sandal jepit dan bermodal beberapa buah roti dan sebotol air mineral. Bahaya subjektif dan objektif  menanti kita para pendaki dan ketika hal itu datang kita harus sudah siap mengatasinya.

 

Adzan Menggema di Surya Kencana   

 

Rabu sore, kami mulai mengaplikasikan materi yang didapat ke dalam kondisi sesungguhnya. Walau masih di Salabintana, kami membuat bivak dengan menggunakan ponco dan membuat makanan sendiri. Sebelumnya kami bermalam di barak dan makan yang disediakan oleh Wanadri. Karena saya nggak jago dalam urusan bivak, maka sayalah yang  membuat makanan. Selanjutnya, saya dan 4 teman sekelompok menyantap nasi, mie dan abon dengan nikmatnya.

 

Esok paginya kami berangkat mendaki Gunung Gede (2958 mdpl) melalui jalur Salabintana yang terkenal lebih rumit dan jarang dilalui dibanding jalur – jalur lainnya, seperti Cibodas dan Gn. Putri. Di awal pendakian kami langsung menghadapi punggungan yang cukup curam dengan diapit 2 lembahan yang mengalir sungai dibawahnya. Selama melalui trail (jalan setapak), banyak dijumpai pohon tumbang yang harus kami panjat atau merangkak dibawahnya. Di ketinggian 2100 mdpl kami beristirahat dan melakukan evaluasi perjalanan pada malam harinya.

 

Pendakian dilanjutkan dengan mencapai target Alun – alun Surya Kencana (2800 mdpl) untuk melaksanakan shalat Jum’at. Dalam perjalanan, kami tidak hanya sekedar melangkahkan kaki dan membawa ransel yang berat, tapi juga belajar menentukan posisi (resection) menggunakan peta topografi, kompas bidik, penggaris dan busur atau protactor. Hal ini penting karena banyak juga para pendaki yang tersesat dan tidak tahu posisinya dimana karena mereka tidak membawa peralatan navigasi.

 

Pukul 12.30 kami sampai di Surya Kencana. Adzan berkumandang di padang edelweiss tersebut. Teddy, teman sekelompok saya menjadi khatib dan imam untuk pelaksanaan shalat Jum’at. Pukul 14.30 kami menuju Puncak Gede. Dalam pendakian yang sejengkal lagi kami harus meninggalkan salah satu peserta cewek yang kelelahan. “Maniikk, ayo kamu bisa!,” teriak kami mendahuluinya. Terik matahari menemani nyanyian kami  menuju puncak punggungan. Kemudian beberapa orang di depan saya berteriak, “Woii sudah sampai, semangat... semangat...!”. Pukul 15.00 kami tiba di Puncak Gede. Di depan kami terhampar Kawah Ratu dan jika menggeserkan pandangan beberapa senti ke kiri terlihat Gunung Pangrango (3019 mdpl).

 

”Wow, ini luar biasaa... ini baru pertama kali!!!,” teriak Madewanti memecah langit. Sementara yang lain saling ber – tos ria, tertawa dan menyemangati Manik yang masih berjuang menggapai puncak bersama panitia. Akhirnya Manik melengkapi senyum 40 peserta yang lainnya di Puncak Gede.

 

Tapi bukankah tujuan akhir dari pendakian gunung adalah pulang ke rumah dengan selamat?  

 

Bersambung...

 

Thursday, December 13, 2007

Avonturir yang Dihargai Sebuah Novel

Avonturir yg tidak direncanakan. Sudah lama sekali semenjak perjalanan sendirian Dago – Maribaya melalui Dago Bengkok 2 tahun yg lalu. Dan kali ini rutenya pun cukup melelahkan. Tidak direncana. Ya! 12.45. Berawal dari BonBin (Kebon Binatang Taman Hewan) yg diteruskan ke Ciwalk – Padjajaran – Pasir kaliki – Stasiun Hall – Pasar Baru – Masjid Agung – Braga – Gatot Subroto - BSM. 

 

Teringat 2,5 tahun yg lalu, ketika detik – detik menjelang SPMB aku dan beberapa mahkluk gila malam – malam iseng main ke Cihampelas dan setelahnya kami nge – game di rental PS deket Unisba jam 12 malam!… Dan kini iseng – iseng aku ke toko buku Karisma di Primer Cihampelas mengingatkanku akan memoir masa lalu. Debu jalanan menerpa tubuhku. Cipaganti, dan meneruskan ke Padjajaran sembari transit di Istana Plaza Sejuknya AC membuat butiran – butiran keringat mulai mongering. Sambil ngelirik cewek – cewek SMA, beberapa SMP dan yang lagi pacaran asik menggeleot mesra pada pasangannya. Ngomomg – ngomong “Hari Gini Pacaran? Nikah Lagi…!” Lagi – lagi ini semua mengingatkanku akan masa lalu. Cinta, musik rock, basket, Hai, Lupus dan Gang super gila bernama Litjik. Gang ilegal beranggotakan Bean (Fitrah), Igo, David, Dayus, Didi, Agus, Nendri, Eka dan aku sendiri.

 

Aku semakin rindu pada masa lalu, pada seorang teman yang namanya tertera diatas ketika melewati SMAN 6 Bandung Pasir Kaliki. Disanalah Bean melanjutkan SMA – nya. Ketika kelas tiga SMP, kami semua melepas kepergian Bean ke Bandung. Entah sekarang Bean ada dimana, padahal salah satu tujuanku ke Bandung adalah mencari sosok gila tsb. Jadi kalo ada yang menemukan mahluk aneh mirip Mr Bean alias Fitrah Mahendra harap menghubungiku karena kalo nggak bakal mengacaukan negara ini dengan kekonyolan dan kelitjikannya.

 

Uhh… lagi – lagi aku mengusap keringat, walaupun sebenarnya cuaca agak mendung dan butiran – butiran hujan mulai membumi. Dengan tas ransel yang didalamnya ada Balada si Roy 2 penerbit Beranda Hikmah aku memacu Reebok – ku. Reebok yg kedua, punya bapak lagi. Kuambil di gudang rumah karena sudah tidak dipakai lagi. Sandal gunungku ilang dicuri orang biadab di Salman ketika Maghrib, sialan kan! Dan Reebok yg pertama pun raib di Masjid Al – Kautsar Sumbawa waktu shalat Ashar di hari minggu dan kebetulan kalo minggu nggak ada yang jaga, Dodol banget!

 

Roy… Sebenarnya baru sekarang aku membacanya dan hmmm… Keren! Mirip diriku, walau baru sekarang – sekarang ini aku melakukan avonturir sendiri. Dulu paling juga bareng anak – anak PA ke Tangkuban Perahu lewat Jayagiri dan sempat ke Gede – Pangrango walau didasarnya saja karena pendakian ditutup saat itu. Dan aku pun sempat menanyakan ari – ariku ketika lahir. Nggak dibuang layaknya ari – ari Roy, tapi dipendam di bawah pohon mangga dirumahku yang dulu. Jadi mitos ari – ari itu memang nggak ada. Yang mempengaruhi adalah bacaan atau buku. Bersukurlah bagi yang suka baca karena tanpa membaca, kita dekat dengan kebodohan dan kebodohan itu sangat dekat sekali dengan kemiskinan, itulah kata Tantowi Yahya. Buat para orang tua buatlah Home Library atau minimal anaknya disuapin ama bacaan atau buku yang bermutu dan jangan biarkan diproteksi terlalu ketat. Biarkan dia berkembang alami, melakukan avonturir dan ajaklah sekali – kali mengakaji islam ketika dia beranjak dewasa.

 

Tidak terasa adzan ashar menggema ketika aku berada di Stasiun Hall. Stasiun di depanku mengingatkanku akan Jogja. Waktu itu maen ke rumah pengusaha gila Purdi E. Chandra, tapi pas nyampe rumahnya eh malah renang dan maen tenis, sementara yang laen jalan – jalan ke Malioboro. Dan juga avonturirku ke Rancaekek, maen ke seorang teman (walaupun udah bapak – bapak) mengunjungi toko SWLW – nya. Toko mini tapi bagiku wah… Rame…

 

Sempat mampir ke Pasar Baru. Nggak ada yang kubeli, cuma liat – liat dan aku sempat ngeliatin lelaki bertato yang melototin cewek yang sedang liat dan tentu saja bertemu para saudagar yang menjajakan barangnya. “Sepatunya mas, bajunya, suteranya…” Nggak lama di pasar baru, lantas kemudian menyisir Otista, Dalem Kaum dan beristirahat di Masjid Agung Raya Bandung. Capek. Tapi aku merasakan senyum pada diriku. Segala penat dan bayang – bayang yang menghantuiku hilang. Brar…! Seperti halilintar yang menggelegar memecah kesunyian.

 

Berlakunya Perda K3 sejak 1 November 2006 yang dilarangnya mengamen dan mengemis membuatku miris. Siapa yang mau menolong mereka? Nampak terlihat para pengamen dan pengemis sepanjang jalanan yang kulewati. Anak – anak jalanan yang menjajakan donat dan teh botol di depan eskalator Pasar Baru bisa dijumpai dengan wajah berharap dagangannya habis hari itu juga. Sementara koruptor – koruptor brengsek nggak malu akan dirinya dan mereka yang mengais uang receh dijalanan. Itulah hidup…

 

Perutku sepertinya keroncongan. Aku sadar belum makan siang. Baru nasi kuning pagi tadi mengganjal perut ini.

 

“A tahu gejrotna sabaraha?”

 

“3000 A.”

 

Makan tahu gejrot dulu sebelum shalat ashar. Makanan kesukaanku waktu kecil. Harga seporsi 3000 yang sekarang sama dengan 300 ketika aku SD. Enak banget, apalagi kuahnya… Angin sore itu menyejukkan badanku. Ditambah siraman air wudhu dan sujud sukurku semakin membuatku bersemangat, insya Allah. Taman di depan masjid sangat ramai, air mancur menyaksikan muda – mudi yang asik bercengkrama. Yah… Lagi – lagi pacaran. Anak SMA! Bukannya pulang dan belajar malah asik pacaran. Sama kok… Tapi waktu SMA bukan pacaran yang aku lakuin, tapi mecahin kaca kelas. Praang…! Dulu waktu SMA sering banget main futsal, ampe pernah dihukum dilapangan basket.

 

Aku beranjak lagi dan berhenti di tukang majalah. “Pak, liat BOBO – nya” seruku. Mungkin saat itu si bapak bertanya – tanya, anak muda kok masih suka majalah BOBO? Udah lama sekali aku tak membacanya, mungkin ada sekitar 10 tahun. Sudah banyak yang berubah, terutama harganya sudah naik 3 kali lipat. Tapi aku membelinya juga. Yap! Disitu ada kupon lomba mengarang cerita misteri, hadiahnya lumayan. Oleh karena itu aku membelinya.

 

Kakiku semakin lelah melangkah. Rencanaku pulang lewat Braga dan naik Stasiun – Dago dari Wastu Kencana. Aku menyisir Asia – Afrika. Gedung Merdeka dan Museum Asia Afrika, sebuah tempat yang mengenalkan Indonesia di kancah Internasional kala dulu. Beberapa turis mengambil gambar ditempat itu. Sayang aku tak membawa kamera karena avonturir ini awalnya tak direncanakan sama sekali. Gedung – gedung khas Eropa menghiasi Braga. Aku sempat melihat lukisan hotel Savoy Homan dan Braga pada jaman penjajahan Belanda dulu. Indah. Seindah hatiku yang mendapatkan buku tentang kehidupan seseorang yang pernah menjadi CM (Corps Mahasiswa) jaman penjajahan dulu. Bukunya sudah menguning dan aku beli seharga 2500. Dan HP – ku bergetar saat itu.

 

“Halo, pa Duddy ada paket dari Jakarta, tapi kemaren dirumah nggak ada orang” Terdengar suara laki – laki kira – kira 30 tahun-an diujung sana.

 

“Nggak dititipin aja ke anak kosan, pa?” Seruku.

 

“Kami nggak berani, sekarang bapak bisa ambil nggak ke Gatsu 201?”

 

“Gatot Subroto? Sampe jam berapa tutupnya?”

 

“Ya, sampe jam 7 malam. Deket McD, nanti ada plang PCP.”

 

Lantas aku berpikir sejenak. Rencana pun diubah. Aku menyisir Asia Afrika, simpang lima Naripan dan Gatot Subroto. Hari sudah sore sekali. Matahari pun melambai – lambai sebagai tanda perpisahan untuk hari ini. Kuhitung nomor rumah sepanjang Gatsu.  Aku sampai. Kuterima paket itu sembari memberi nasihat kecil kepada penjaga kantor layanan antar paket tsb. Lain kali harusnya memang menelepon dahulu, barangkali aja orang yang menerima paket itu sedang tidur atau tidak mendengar ketukan pintu rumah sehingga si pengirim paket dengan mudah menganggap tuan rumahnya nggak ada.

 

Kulihat tulisan yang tertera pada bungkusan paket itu. Sama. Tulisan si pengirim paket nggak berubah semenjak SMA dulu. Dan kuraba dan aku pun menebak. The Da Peci Code. Kubuka dan Benar! Dalam hati aku bersukur ternyata avonturir ini dihargai sebuah novel gila. Kalo nggak percaya bisa diliat dari covernya.

 

Dan aku kembali berjalan. BSM beberapa meter lagi. Mall terbesar di Bandung itu dengan semboyannya yang mencirikan kelas atas. Aku hanya istirahat disitu dan sudah waktunya shalat Maghrib. Bandung Super Mall. Bagi yang suka maen ke mall, mending jangan kesini deh… Ni mall ukurannya gede banget, bikin kaki pegel aja. Memang kebanyakan yang datang kesini adalah kalangan atas untuk urusan bisnis. Jarang sekali anak – anak muda terlihat. Dan aku harus pulang. Dan… Itukan istrinya KepSep SMA dulu? Entah selintas begitu aja. Tapi aku nggak menyapanya. Dan aku pun agak ragu untuk menyapanya.

 

Aku pulang, aku ingin cepat pulang dan menuliskan ini di tuts – tuts keyboard komputerku. Tapi aku harus berjalan beberapa meter lagi hingga Kiara Condong dan dari sana naek Riung – Dago, lumayan bisa ngirit seceng daripada naek angkot dari depan BSM ke Kircon. Pukul 7 malam… Hmm avonturir yang dihargai sebuah novel…

 

 

Bandung, saat sunyi menerpa di awal tahun 2007