Tuesday, July 31, 2007

Hadapi Dengan Senyuman

Hadapi dengan senyuman

Semua yang terjadi

Biar terjadi…

 

Suatu malam di akhir Mei 2007, sehabis dari acara Kamisan FLP Bandung di Ureshii Jl. Bali, saya pulang naik angkot Kalapa – Dago. Angkot itu sepi, hanya ada 2 penumpang di depan bersama si supir. Saya bergumam dalam hati, “Kasian belum dapat penumpang. Semoga banyak yang naik di simpang BIP nanti.”

 

Angkot yang saya tumpangi memasuki Martadinata. Kemudian terlihat deretan panjang kendaraan akibat lampu merah di simpang BIP. Bagi supir Kalapa – Dago, tempat itu adalah tambang emas untuk mendulang penumpang sebanyak – banyaknya.   

 

Hadapi dengan tenang jiwa

Semua kan baik – baik saja…

 

Tidak banyak penumpang yang masuk ke angkot ini ketika berhenti di lampu merah BIP. Hanya sekitar 2 orang seingatku. Beberapa menit kemudian datanglah polisi menghampiri si supir. Dengan lagaknya yang seperti biasa si polisi menyapa kemudian menayakan ”ini – itu” kepada si supir. Lalu si supir disuruh menepikan mobilnya. Jelas si supir ini kena tilang, saya nggak ngerti tilang masalah apa karena SIM dan STNK – nya dibawa.

 

Saya bersama penumpang lain menunggu dalam angkot. Saya perhatikan wajah supir itu ketika kembali dari si polisi (setelah urusan ”negosiasi”). Tidak nampak raut wajah yang muram ataupun jengkel. Semuanya terlihat seperti sediakala. Angkot siap meluncur kembali. Namun sayangnya mesin angkot ini tidak mau hidup. Hualah... kasian bener nih supir... Kemudian si supir meminta supir angkot yang sedang ngetem (nge baca e kayak kelapa, tem baca e kayak reformasi) untuk mendorong angkot. Perlahan pasti mesin angkot mulai hidup dan sedetik kemudian kami merasa lega.

 

Satu hal yang menarik dari kisah ini adalah wajah si supir setelah ”ditimpa” 2 kejadian yang mungkin mengesalkan dari persepsi orang lain. Ketika tahu bahwa ada yang tidak beres dengan angkotnya saya melihat si supir malah bersemangat dan tersenyum. Tidak ada kekecewaan sama sekali.

 

Seperti pada lirik Dewa di atas kita senantiasa menyikapi suatu permasalahan apapun dengan sebuah senyuman. Akan terasa lebih enak kan jika kita tersenyum daripada cemberut. Akan lebih enak dipandang wajah kita dalam keadaan tersenyum daripada jengkel. Dan yang pasti dengan tersenyum energi yang kita keluarkan juga berupa energi positif yang baik untuk pikiran kita dalam mengolah tindakan selanjutnya.    

  

Indonesian Idol = Berhala Indonesia

Ketika kita beranjak dewasa

Siapa yang perlu kita contoh?

(Alang Nemo)

 

Beberapa hari yang lalu telah terpilih idola Indonesia yang baru pada sebuah ajang bernama “Indonesian Idol”. Sudah 3 tahun ajang “pencarian bakat” ini digelar. Hasilnya? Para penyanyi yang kemudian dijadikan idola oleh masyarakat Indonesia. Awal dari adanya Indonesian idol tidak terlepas dari acara serupa di Amrik, yaitu American Idol yang oleh Greenday, sebuah grup musik punk rock diplesetkan dalam sebuah lagu berjudul American Idiot.

 

Kita tidak akan membicarakan Greenday dengan American Idiot – nya. Tapi memang Greenday sendiri berpendapat bahwa event tersebut sangatlah membodohi masyarakat Amerika. Entah membodohi bagaimana saya juga nggak tahu.

 

Islam mengajarkan iqra atau “membaca” sebelum menindaklanjuti sebuah kegiatan. Misalnya ketika kita memilih jurusan untuk kuliah, kita harus “membaca” apakah jurusan itu sesuai dengan minat dan potensi kita nggak. Nah itulah pentingnya iqra. Ketika Indonesian Idol muncul kita juga harus iqra terlebih dahulu. Acara apa ini?

 

Seperti yang ditulis di atas bahwa Indonesian Idol tidak berbeda dengan AFI, Mamamia dan acara serupa lainnya. Mendukung dengan mengirimkan sms merupakan salah satu ”urgent factor” dalam event – event seperti ini. Lantas saya bertanya, kenapa ”idola” kok di – es-em-es – in? Kemudian berlanjut pada teriakan histeris para pendukungnya. Astagfirullah... 

 

Lebih lanjut lagi jika kita membuka kamus Inggris – Indonesia karangan John M. Echols, arti idol (kb) adalah berhala dan bintang film yang dipuja. Sementara kita juga bisa melihat kamus Oxford didapat arti idol : 1. person or thing that is greatly loved or admired, 2. statue that is worshipped as a God.

 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada – Nya dalam menjalankan agama yang lurus…” (Al – Bayyinah : 5)

 

Dalam ayat ini terdapat 2 kata yaitu murni dan lurus yang berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan. Inilah pemandangan nyata dari masyarakat kita. Lambat laun distorsi iman semakin lebar hingga akhirnya tidak bisa menyelamatkan kita.


Saturday, July 28, 2007

Runtuh


Dingin menusuk sendi – sendi

Aku, mati


Wenger & Flamini

Biarkanlah dirimu terbang

Melayang bebas

Menuju kreativitas

(Alang Nemo)

 

Pelatih Arsenal Arsene Wenger mempersilahkan Mathieu Flamini pergi pada akhir musim 2006 / 2007. Dia mengaku paham niat pemain berusia 23 tahun itu yang ingin mendapatkan kesempatan bermain lebih banyak. (Sindo, 8 April 2007)

 

Bagi pesepakbola profesional, duduk dibangku cadangan bukan suatu harapan yang diinginkan. Hanya melihat teman – teman setimnya bermain untuk memenangkan pertandingan membuatnya ”gatal” untuk segera memasuki lapangan bersama mereka. Apalagi bagi pemain muda yang sedang memiliki semangat menggelora seperti Flamini.

 

Sikap Mathieu Flamini pada wacana pembuka diatas tidak jarang kita temui dalam kehidupan sehari – hari. Ya, kita butuh perkembangan. Layaknya bayi yang butuh belajar berjalan setelah ia menguasai teknik merangkak. Begitupun halnya dengan diri kita.

 

Ada dua daerah atau zona yang kita miliki dalam hidup ini. Pertama adalah zona nyaman. Dan yang kedua adalah zona tidak nyaman

 

Pada zona pertama, hidup hampir pasti merasakan enak. Kenapa saya berkata demikian? Sebagai analogi saja, ada seorang anak muda yang orang tuanya selalu memanjakan dia dengan mengabulkan segala permintaan si anak. Minta motor diberi, uang jajan sebulan sebesar satu juta dikasih dan berbagai keinginannya terpenuhi. Namun apa akibatnya untuk perkembangan si anak dikemudian hari? Ketika ia mulai harus mencari uang sendiri. Saat dirinya harus memulai hidup baru dengan status baru. Itulah yang dimaksudkan dengan zona nyaman.

 

Lain halnya zona tidak nyaman. Hidup ini senantiasa dijadikan ajang latihan untuk menempa diri agar kelak suatu saat nanti bisa menikmati hasilnya. Seorang pengusaha sukses yang awalnya seorang karyawan ketika diawal memasuki dunia usaha merupakan aplikasi dalam hidup pada zona ini. Serba tidak pasti. Kerja keras, kerja keras, kerja keras, itulah modal yang diperlukan untuk hidup di zona ini.

 

Salah seorang legenda basket dunia, MJ atau Michael Jordan melakukan latihan menembak lebih banyak dari teman – temannya di awal – awal karirnya. Bahkan setelah sesi latihan usai, dia masih asik dengan bola dan ringnya hingga jam 3 pagi sementara teman – temannya pulang. Dan dia pun berkata mengenai hal itu. ”Ini adalah investasiku sehingga aku bisa tidur dikemudian hari.”

 

Siapapun yang ingin berkembang lebih baik dalam hidup ini tidak hanya menerima gaji buta saja tanpa merasakan bola sepak, rumput hijau, lawan bertanding dan teriakan penonton dalam stadion. Dia ingin jadi pelaku. Dia ingin mendengar hingar bingar gemuruh stadion, lampu sorot juga belasan kamera stadion dan media.

 

Pertanyaannya adalah apakah kita akan tetap membiarkan diri kita terus begini, mati dan tidak berkembang?

 

 

Thursday, July 26, 2007

Anak Itu Bernama Iwa

Hidup adalah kesenangan dan kepedihan

Namun sejatinya ia adalah perjuangan

(Alang Nemo)

 

Beberapa minggu yang lalu saya bertemu anak kecil di sekitar kantin salman ITB. Kemudian saya menghampirinya dan terdengar oleh telinga saya “A cirengna”. Hati saya terkejut sekaligus kagum mendengar tawaran anak kecil tersebut. Lantas saya mengajak dia ngobrol hampir selama 1 jam.

 

Seorang anak kecil berumur sekitar 10 tahun berjualan cireng mentah seharga 3000 rupiah / kantong (1 kantongnya berisi 20 buah). Dan dia harus berjualan untuk membantu orang tuanya, dan juga membiayai sekolahnya. Dan dia berasal dari Majalaya, suatu daerah yang cukup jauh jaraknya dari ITB.   

 

Iwa namanya, sampai saat inipun saya tidak pernah lupa dengan anak kecil tersebut bahkan saya sering melihatnya dan satu kalimat yang sering terucap dari dalam hati saya adalah “Ya Allah jadikan dia seorang pengusaha sukses suatu saat nanti”.

 

Apa yang bisa diambil dari perjuangan bocah bernama Iwa tersebut? Hidup itu membutuhkan mental yang kuat. Seorang pengusaha tidak akan pernah sukses jika dia tidak memiliki mental yang tangguh. Baru gagal sekali sudah menyerah, atau ingin memulai usaha malah banyak memikirkan resiko. Oleh karena itu disiapkanlah mental yang kuat bagi calon – calon entrepreneur muda untuk memulai usahanya.

 

“A cirengna” Dan suara itu terdengar lagi ketika saya sedang berjalan menuju pameran buku beberapa hari yang lalu di Braga.

 

 

Bandung, Agustus 2006


Tuesday, July 24, 2007

Tanggung Jawab

Aku, kamu, dunia…

Dimana aku harus berpijak?

(Alang Nemo)

 

”Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, Aku Spiderman. Jika musuhku tahu tentang dirimu...

 

Antara cinta dan tanggung jawab. Begitulah yang dirasakan Peter Parker semenjak menjadi manusia laba – laba. Kehidupannya berubah menjadi tidak normal. Dan tentu saja ada sebuah konsekuensi yang harus diembannya dengan kekuatan barunya tersebut.

 

Ketika Peter mulai menggunakan kekuatan laba – labanya, ia merasa orang – orang disekelilingnya menjadi tidak aman. Setelah Paman Ben meninggal hanya Bibi May dan Mary Jane yang selalu dihatinya. Peter tidak ingin kedua orang yang dicintainya itu mengalami resiko, jika musuh – musuhnya mengetahui kedekatan antara dirinya dengan Bibi May dan Mary Jane Watson.    

 

“Seiring dengan kekuatan besarku, aku mempunyai tanggung jawab yang besar...

 

Kekuatan (power) pada manusia bisa disamakan dengan potensi atau skill. Untuk para ilmuwan istilahnya adalah kecerdasan. Einstein menyesal setelah ”ramuan” bom atomnya ternyata digunakan Amerika untuk menghancurkan kedua kota di Jepang pada masa Perang Dunia II, Hiroshima dan Nagasaki. Padahal selama ia menekuni keilmuwannya, kecerdasannya digunakan untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan umat manusia. Hal ini diiyakan oleh Dr. Otto Octavius dalam Spiderman II, ”Kecerdasan harus dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia.” Ia sendiri kemudian merasa menyesal setelah eksperimen tritiumnya malah membuat kacau kota New York.

 

Bagian kriminal mengenai cek palsu di FBI memanfaatkan Leonardo Di Caprio alias Frank Abignale Jr. untuk bekerja disana setelah ditangkap dan dihukum dalam bui. Knowledgenya dalam mengidentifikasi mana cek yang asli dan palsu sangat berguna bagi pihak FBI. Awalnya Frankie memang seorang penjahat yang suka membuat cek palsu, namun akhirnya ia bak superhero yang memberantas kejahatan dengan bekerja di FBI. Catch Me If You Can mengajarkan kepada kita bahwa potensi yang kita miliki haruslah digunakan dijalan yang benar.

 

Para penulis yang buku – bukunya segunung tidak segan – segan mengeluarkannya untuk membuat perpustakaan demi kepentingan umum. Mereka ingin mengajarkan bagaimana asiknya membaca, menulis, mendongeng bahkan melantunkan puisi. Ada rasa kepuasan tersendiri yang diraih setelah berbagi ilmu yang telah didapat sebelumnya. Ya, kita punya tanggung jawab kepada mereka yang punya kecenderungan yang sama dalam hal potensi maupun skill sebagai bekal kehidupannya. Kelak.


Sunday, July 22, 2007

Milan Sempire Milan

Kita adalah kita

Seperti sebuah pepatah :

You are what you read

(Alang Nemo)

 

Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing – masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (Al – Isra : 84)

 

”Milan Sempire Milan” begitulah judul yang tertera pada sebuah harian olahraga Top Skor, jum’at 13 April 2007. Permainan anak – anak Rossoneri pada pertandingan di kandang Bayern Munchen itu benar – benar menunjukkan karakter Milan seperti biasanya. Setelah unggul 2 – 0 di babak pertama, catenaccio diperagakan mereka dan hanya mengandalkan serangan balik. Bahkan di 20 menit terakhir, anak asuh Carlo Ancelotti itu bermain tanpa striker. Milan berhasil mempertahankan keunggulannya dan berhak lolos ke semifinal Liga Champion menghadapi Manchester United.

 

Karakter merupakan ciri khas yang dapat membedakan seseorang dengan orang lain. Kita dapat mengetahui jika sering mengeksplor diri kita serta mencari tahu dengan berbagai cara. Misalnya dengan membaca buku. Atau untuk lebih cepat mengetahuinya tentu saja berinteraksi dengan dunia luar.

 

Saya memiliki dua teman. Mereka adalah trainer hebat. Satu dari mereka membawakan pelatihan dengan gaya yang dahsyat, menggelora dan dengan suara yang nyaring. Kemudian satunya lagi membawakan dengan santai, tidak teriak – teriak dan lembut. Teman saya yang kedua ini pun berkata, ”Saya ingin sekali bisa membawakan training seperti dia, tapi kok ada yang kurang sreg pada diri saya untuk membawakannya.”

 

Perkataan teman saya yang kedua sudah cukup untuk mengetahui karakter dia yang sesungguhnya dalam membawakan sebuah training. Karakter itu orisinil yang datang dari dalam diri kita. Jika kita ingin mengubahnya ada perasaan tidak nyaman, kurang sreg, dan tidak menjadi diri sendiri.

 

Kadang kita merasa tidak sadar telah menjadi orang lain. Atau berada pada suatu tempat dimana kita tidak seharusnya berada disitu, the man in the wrong place. Padahal jika kita berada pada tempat yang sesuai maka peningkatan kualitas diri kita akan meningkat pesat melebihi diri kita pada tempat yang salah.

 

Oleh karena itu banyak yang mengatakan ”back to basic” sebagai lecutan awal kembali pada diri sejatinya. Ada rasa kepuasan tersendiri yang harganya tidak ternilai jika kita menjadi diri sendiri. Dan jiwa ini pun akan berkata : ”Milan sempire Milan. Ya, Milan tetaplah Milan.”


Thursday, July 19, 2007

Indonesia, Kapan Sejahtera?

Suatu hari di tahun 2030. Sebuah stasiun tv di luar negeri melaporkan kondisi perekonomian negara – negara maju di belahan dunia ini. Dalam tayangan tersebut nampak daftar peringkat negara berdasarkan pendapatan perkapita dari yang paling tinggi. Negara sakura Jepang menempati posisi pertama, disusul Korea Selatan, Singapura, Amerika Serikat dan terakhir Indonesia.

Indonesia? Pertanyaannya : benarkah informasi tersebut?

Ada empat target yang ingin diwujudkan Visi Indonesia 2030; masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pendapatan per kapita 18.000 dolar AS per tahun; 30 perusahaan Indonesia masuk daftar 500 perusahaan besar dunia; pengelolaan alam yang berkelanjutan; serta terwujudnya kualitas hidup modern yang merata. Target ini bisa direalisasikan jika pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 persen, laju inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12 persen per tahun. Pada 2030, dengan jumlah penduduk 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 5,1 triliun dollar AS. Sebuah harapan yang sangat dinanti – nantikan oleh siapapun yang berada dalam negara republik tercinta ini.

Bisa dibilang empat target yang dicanangkan dalam Visi Indonesia 2030 tersebut cukup realitis asalkan dibarengi dengan usaha yang keras. Tentunya ketika pemerintah mencanangkan itu berarti ada sebuah optimisme yang besar yang siap digulirkan. Dan hanya dengan modal kesadaran dan keinginan kuat, pemerintah dan masyarakat Indonesia bisa mewujudkan itu. Karena kondisi republik ini masih bergelut dalam berbagai permasalahan internal. Masalah yang paling penting adalah kemiskinan. Bagaimana mau sejahtera jika masyarakat Indonesia miskin? Padahal salah satu kunci mewujudkan masyarakat sejahtera adalah meminimalisir kemiskinan, selain stabilitas ekonomi, penyediaan lapangan kerja yang cukup dan perekonomian yang berkesinambungan.

 

4 Kesadaran di Negara Miskin

Sejalan dengan cita-cita Raden Ajeng Kartini, kebodohan merupakan sumber dari segala kemiskinan. Hal ini ditegaskan kembali oleh Tantowi Yahya dalam sebuah tayangan parawira sebuah surat kabar harian ibukota mengatakan “… tanpa membaca akan meninmbulkan kebodohan, sedangkan kebodohan itu sumber dari kemiskinan.”

Kelemahan sumber daya manusia kita adalah minat baca yang kurang. Minat baca masyarakat Indonesia lemah sekali jika dibandingkan Jepang, Amerika maupun Malaysia. Kita lebih suka menonton daripada membaca, sehingga budaya yang timbul adalah watching habbit bukan reading habbit. Menurut almarhum Harry Roesli, budaya nonton yang mengakar pada masyarakat Indonesia merupakan sebuah ”pembodohan bangsa”. Kemudian lagi menurut Peter Ducker, seorang pakar manajemen dan globalisasi dimana globalisasi merupakan era masyarakat pengetahuan dengan sumber daya utama masyarakat bukan lagi bertumpu pada alam, namun pada pengetahuan. Dan pengetahuan itu pastinya didapat dari hasil membaca. Hal ini merupakan kesadaran yang pertama yang perlu ditindaklanjuti dengan sebuah sikap yang nyata dan tegas bagi segenap elemen yang akan menempuh perjalanan menuju Indonesia 2030 yang dicita – citakan.

Masyarakat Indonesia adalah market yang potensial. Daya beli dari masing – masing individu cukup tinggi. Sebagai contohnya saja, kebutuhan akan produk – produk teknologi telekomunikasi berupa handphone. Bagi orang – orang penting, fitur – fitur canggih yang ada dalam sebuah handphone akan sangat membantu pekerjaannya. Namun, banyak dari kita yang ikut – ikutan membeli item semacam itu, padahal yang dibutuhkan atau digunakan hanya untuk menelepon dan memakai fasilitas short message service. Akibatnya budaya ikut – ikutan (mengikuti gaya hidup / lifestyle) merasuki di jiwa setiap individu. Kesadaran kedua masyarakat Indonesia yang perlu dibenahi adalah budaya hidup yang konsumtif.  

Kesadaran yang ketiga adalah mental para pejabat pemerintahan dan orang – orang yang berada dalam sebuah jabatan penting, baik di perusahaan maupun instansi lainnya. Kasus korupsi yang merajalela begitu memprihatinkan. Miris sekali jika mendengar ada kucuran dana dari pusat yang di – cut oleh orang – orang dibawahnya yang tak bernurani. Ujung – ujungnya rakyatlah yang menderita.

Kemudian kesadaran yang keempat adalah paradigma yang berkembang dalam masyarakat. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah lebih menuntut masyarakat agar menjadi pekerja bukan sebagai pembuat kerja. Paradigma ini sudah terpola dan tertanam dalam pikiran kita dengan kuat. Akhirnya yang tercipta adalah masyarakat pekerja bukan entrepreneur society. Setelah lulus dari kuliah atau sekolah tinggi pertanyaan yang dilontarkan selalu : mau kerja apa dan dimana?

 

Jadi, Kapan Sejahtera?

Jawaban idealnya adalah setelah melakukan tindakan yang dapat mengubah kebiasaan dan budaya dari empat kesadaran diatas. Mulai dari mengubah kebiasaan menonton menjadi membaca (minat baca yang tinggi), budaya produktif bukan lagi konsumtif, moral koruptor menjadi jiwa – jiwa pemimpin yang bertanggung jawab dan merakyat serta pengubahan mindset dalam masyarakat tentang menjadi pekerja dan menciptakan lapangan kerja.

Jika memang jawaban diatas terlalu ideal dan butuh jangka waktu yang sangat panjang untuk diwujudkan, ada satu alternatif solusi yang terbilang ampuh untuk menciptakan kesejahteraan di negara ini. Rujukannya pada tujuan akhir dari kebijakan ekonomi yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagi masyarakat awam, kesejahteraan bukan konsep abstrak, tetapi kondisi nyata yang langsung menyangkut kehidupannya sehari-hari. Maka untuk mencapai kesejahteraan itulah suatu bangsa harus mengupayakan peningkatan produktivitas di bidang ekonomi.

Kata kunci disini adalah produktivitas. Pertumbuhan ekonomi lebih tepatnya. Sekarang bagaimana caranya agar kita bisa meningkatkan hasil lebih dari sebelumnya yang didapat dari perekonomian Indonesia ?

 

Kembali ke 33 Ayat 1

Aset di beberapa sektor ekonomi vital dikuasai oleh pihak asing. Misalnya saja di bidang pertambangan energi (tambang cair maupun padat) yang mencakup 90% dan perbankan 48%. Kondisi demikian jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu ”penjajahan” model baru ini harus segera disikapi dengan bijak dan serius. Caranya yakni pemerintah dan rakyat saling menggandeng satu sama lain dalam sebuah wadah berbasis ekonomi kerakyatan.

Pada era krisis moneter di tahun 1998 – 1999, terbukti bahwa koperasi dan usaha kecil mampu menjadi ujung tombak ekonomi nasional. Investasi yang ada pada saat itu hanya berasal dari kekuatan ekonomi rakyat bukan dari para konglomerat. Namun begitu, kualitas institusi koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) rata-rata masih rendah dan lemah, sehingga manajemennya perlu mendapatkan perhatian besar. Ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua untuk bagaimana meningkatkan kualitas ekonomi kerakyatan. Dan jawabannya ada pada kesadaran diri sendiri seperti halnya yang terjadi pada Muhammad Yunus, profesor ekonomi di Universitas Chittagong, Bangladesh.

Indonesia harus mulai mencontoh Muhammad Yunus dan Bank Grameennya yang baru saja meraih Nobel Perdamaian 2006. Pria kelahiran 28 Juni 1940 itu tersadar masyarakat di sekitar universitas tempat mengajarnya miskin. Padahal mereka membuat kerajinan yang bagus. Hatinya tergerak untuk membantu dengan memberikan kredit kepada mereka. Tahun 1976, Yunus mentransformasi lembaga kreditnya menjadi sebuah bank formal dengan aturan khusus bernama Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali. Kini, bank ini memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Hebatnya lagi, modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah.

Pelajaran yang bisa dipetik dari Muhammad Yunus dan kaum miskin Bangladesh adalah adanya saling mempercayai yang kuat antar komponen. Hal ini yang belum terjadi di kalangan perbankan dan UMKM. Oleh karena itu lembaga – lembaga keuangan kerakyatan (lembaga keuangan mikro, koperasi, BMT) harus digerakkan seoptimal mungkin agar segera tercapai sinergi dengan UMKM.

Masa depan ada di tangan kita semua sebagai warga Indonesia. Kemiskinan maupun kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab bersama. Kepedulian dan rasa saling mempercayai harus tertanam dalam jiwa masing – masing mulai saat ini. Dan itu semua ada pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Kapan Indonesia sejahtera? Jawabannya bukan lagi may... (maybe yes, maybe no), tapi jelas, konkrit dan tegas. Tidak perlu menunggu kebijakan pemerintah karena Muhammad Yunus pun bergerak atas kesadarannya akan kondisi masyarakat Bangladesh.  

 

Daftar Pustaka:

Suara Karya Online

Ensiklopedia Tokoh Indonesia

Pikiran Rakyat Online

Tulisan Duddy Fachrudin Tentang Indonesiaku Membaca

Tulisan Herry Derwanto Tentang Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi

Masyarakat Transparansi Indonesia

 

Media Dakwah : Orientasi Tujuan

Perkembangan arus informasi di belahan dunia ini semakin hari semakin canggih dan cepat saja. Segala informasi mudah didapatkan baik itu melalui media massa / cetak maupun elektronik. Hampir segala informasi bisa kita dapatkan. Sebagai salah satu contohnya adalah tentunya dengan penggunaan internet. Melalui media ini kita bisa mendapatkan segala informasi dari penjuru dunia.

 

Melihat gejala dunia yang semakin datar (world is flat) ini, islam sebagai sebuah sistem atau aturan hidup pastinya tidak akan tinggal diam untuk menyampaikan kebenaran – kebenaran yang haq (benar) agar sebagian masyarakat yang mengetahuinya tersadarkan sendirinya.  Dan penggunaan media sebagai jembatan prosesi dakwah ini adalah sesuatu yang diperlukan dalam syiar islam saat ini.

 

Tidak dipungkiri bahwa peranan media baik itu media cetak maupun elektronik dalam membawa pesan – pesan islam sangatlah besar. Karena pada saat ini berbagai godaan ataupun ujian yang datangnya dari budaya barat terus menggempur fondasi – fondasi kehidupan masyarakat baik itu moral sampai keimanan tiap – tiap individu. Jadi mereka (orang – orang barat) mempunyai misi dakwah juga dalam hal ini. Namun dakwah mereka adalah pesan yang secara tidak sadar akan menghancurkan diri kita.

 

Untuk itu, kita sebagai umat muslim harus mempunyai benteng dalam menyikapi permasalahan tersebut. Tameng tersebut bisa datang dalam diri kita sendiri (internal) ataupun juga dari luar (eksternal). Tameng dari luar inilah bernama media dakwah islam.

 

Kebutuhan atau keingintahuan masyarakat Indonesia tentang islam sendiri sangatlah besar. Disinilah media dakwah harus bermain. Peluang penyadaran masyarakat terbentang luas. Maka kesempatan ini tidak boleh disia – siakan bagi insan – insan yang berkecimpung di dunia media dakwah.

 

Namun disini perlu diperhatikan bahwa proses syiar islam dalam media haruslah benar – benar dalam ketentuan islam yang sesungguhnya. Mengapa hal ini perlu, bahkan mutlak dilakukan? Karena pada saat ini, realita yang terjadi adalah dimana media itu salah menempatkan dakwah sebagaimana mestinya. Sebagai contoh adalah pada industri musik yang pada bulan Ramadhan ramai berbondong – bondong mengeluarkan album ruhani dari artis atau penyanyinya masing – masing. Sebenarnya pertanyaannya mudah saja? Benarkah in adalah syiar islam atau hanya sebatas memenuhi kebutuhan market (pasar) akan lagu – lagu islami? Atau yang lebih ekstrem lagi tayangan – tayangan sinetron yang katanya mengandung pesan – pesan agama, tapi dalam penyampaiannya tidak sesuai dengan aturan islam sendiri.

 

Hal seperti ini adalah sebuah permasalahan yang memang dalam mencari solusinya akan kembali lagi ke dalam hati nurani masing – masing. Hati yang jernih dan murni tidak akan mengeluarkan output (karya) seperti itu, sedangkan hati yang sudah tercampuri bumbu – bumbu penyedap yang sebenarnya membuat menjadi pahit akan berbuat apa saja demi profit materi. Jika kasusnya seperti ini maka perlu dipertanyakan lebih lanjut tujuan dari apa yang mereka katakan syiar itu.

 

Tujuan atau visi diawal masa pembentukan media sebagai risalah dakwah haruslah jelas. Mau apa kita buat media ini? Benar – benar ingin memerjuangkan kebenaran islam atau hanya mengejar keuntungan materi belaka tanpa mengindahkan etika – etika yang ada. Ini kembali ke setiap individu masing – masing. Yang jelas dakwah itu harus disampaikan secara benar, dalam konteks islam dan bertujuan dalam hal peningkatan akhlak dan keimanan seseorang dan masyarakat lebih luas tentunya.

 

Wallahualam…

 

 

Tulisan ini pernah lolos tahap seleksi pertama Lomba Artikel Auladi Parenting Magazine bulan Maret 2007

Monday, July 16, 2007

TV Show

Rating:★★★★
Category:Other
Indonesia, Bangsa Yang Paling Rendah Minat Bacanya?
(Padamu Negeri – Metro TV, 17 Mei 2007)



Menggenggam Dunia
Bukuku Hatiku...


Apa yang anda rasakan dan pikirkan setelah meyimak judul diatas? Mungkin sebagian merasa cuek dan masa bodoh, ada yang berpikir sambil berucap, “Oh... gitu,“ dan pasti ada yang mengerutkan dahi. Miris.

Jikalau saya boleh berpendapat, “That’s true dan emang kita ini paling malas yang namanya membaca.” Kenapa hal itu bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang menyebabkan minat baca masyarakat Indonesia rendah.

Pertama, budaya yang tercipta di masyarakat kita adalah watching habbit. Hal ini sudah mengakar pada setiap individu. Maraknya tontonan – tontonan yang mengasyikkan di layar kaca menambah diri kita malas membuka lembaran – lembaran buku.

Kedua, membeli buku hanya akan membuang uang. Paradigma ini terjadi karena buku hanya sebagai komoditas konsumtif bukan sebagai investasi pengetahuan. Sehingga untuk membeli buku harus berpikir 100 kali. Coba bandingkan dengan kebutuhan perut kita. Berapa banyak yang kita keluarkan untuk masalah ini. Atau kebutuhan hiburan lainnya seperti membeli dan menyewa VCD / DVD. Untuk hal ini saya pribadi lebih baik menahan diri untuk makan yang enak dan mahal jika ada sebuah buku bagus yang harus saya beli.

Ketiga, tidak adanya fasilitas yang mendukung minat baca dalam keluarga. “Gimana mau mengenalkan jika orang tuanya saja tidak apresiatif,” tukas budayawan dan penulis buku, Arswendo Atmowiloto. Sampai saat ini hanya orang – orang tertentu saja yang sadar akan kebutuhan buku dan membaca di dalam keluarga. Simak saja keluarga para penulis, trainer, motivator atau budayawan yang buku – bukunya berjubel dan selalu dirawat bahkan tidak jarang membaca sebuah buku berkali – kali.

Harga buku mahal? Itu relatif. Sudah banyak toko buku yang mendiskon harga buku – buku yang dijual. Ajang pameran buku juga sering diadakan, bahkan dalam kurun waktu setahun ada 2 sampai 4 event seperti itu. Jika memang terasa berat untuk membeli buku cobalah untuk meminjamnya dari perpustakaan atau Rumah Buku. Banyak perpustakaan – perpustakaan yang menyediakan buku – buku berkualitas. Seperti Balai Perpustakaan Daerah, Rumah Cahaya atau Rumah Dunia.

Skill dasar pada manusia tidak terlepas dari membaca, menulis dan berbicara. Oleh karena itu, ”Orang yang rajin membaca ngomongnya pasti nggak ngawur,” imbuh Arswendo lagi. Ya dengan membaca dibarengi dengan menulis akan meningkatkan skill kita dalam komunikasi. Malah dengan aktivitas tersebut kita bisa menggenggam dunia. Banyak orang – orang yang sudah mempraktikkan, misalnya saja Hitler.

Pujangga terkenal era 45 yang hidupnya dibukukan oleh Sumandjaja dengan judul ”Aku” yang kita kenal dalam film Ada Apa Dengan Cinta, Chairil Anwar, menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Jerman) walaupun ia hanya sekolah sampai SMA. Itupun tidak tamat. Ini membuktikan bahwa pembelajaran sesungguhnya adalah bukan dalam sebuah institusi. Adalah kehidupan yang mengajarkan diri kita menjadi SDM – SDM yang berkualitas. Dan kehidupan mengajarkan kepada kita untuk membaca.

Kebenaran

Carilah kebaikan

Carilah kebenaran

Karena kau akan tahu satu hal

Yaitu perbedaan

(Alang Nemo)

 

Adakalanya kebenaran itu berakhir sebuah kepahitan dalam kehidupan seseorang maupun kelompok. Karena orang – orang sudah mencap atau tidak percaya pada kebenaran itu. Sejarah kehidupan Nabi dan Rasul menceritakannya.

 

Nabi Nuh a.s dianggap bodoh karena membuat perahu diatas gunung. Anak laki – lakinya yang diajak menaiki perahu tersebut pun menolaknya sampai ia kafir terhadap ajaran beliau. Nabi Muhammad saw seperti kita ketahui mempunyai gelar Al – Amin, manusia yang bisa dipercaya, karena Rasul kita sangat jujur dalam berprilaku dan berkata – kata. Namun gelar itu kemudian berubah menjadi tukang sihir, orang gila dan sebagainya setelah mengajarkan wahyu yang didapat dari Allah.

 

Dalam kehidupan manusia, hal itu wajar. Setiap manusia merasa memiliki standar kebenarannya masing – masing. Padahal tidak. Kebenaran sesungguhnya tidak relatif, ia adalah absolut.

 

Kehidupan ini sesungguhnya adalah menerima kebenaran bukan menghalang – halangi kebenaran, hanya dengan alasan pribadi. Ada sebuah kisah dalam suatu perusahaan, sebut saja PT. X. Suatu saat seorang managernya membuat kesalahan dengan membuat rugi PT X tersebut. Tidak tanggung – tanggung 5 miliar kerugian yang diderita perusahaan itu. Kemudian si Bos memanggil manager tersebut. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuh si manager. Sebuah surat pemberhentian kerja membayang di kepalanya. Namun apa yang terjadi setelah si Bos bertemu manager tadi. Ia berkata ”Terima kasih, perusahaan ini jadi tahu bahwa dengan melakukan cara yang anda usulkan adalah tindakan yang salah. Jadi lain kita tidak akan melakukan cara itu lagi,” sang manager terbengong.

 

Suatu kegagalan bukan berarti sebuah kepahitan. Kegagalan adalah sebuah pembelajaran dan dimana proses belajar tersebut menuju kebenaran yang ingin dicapai. Saya sangat menyayangkan sikap orang tua yang selalu menganggap dirinya benar. Hanya karena mempertahankan egonya. Keputusan keluarga mutlak ada ditangannya. Dan tidak pernah memikirkan masa depan keluarganya.

 

Walaupun John Coffey dianggap membunuh oleh warga sekitar sehingga ia harus dihukum mati, namun bagi Paul Edgecomb beserta 3 sipir tahanan Green Mile lainnya John tidak bersalah bahkan John merupakan anugerah karena berhasil menyembuhkan beberapa penyakit yang diderita orang – orang disekitarnya. Film yang diangkat dari novel Stephen King ini menggambarkan sebuah kebenaran yang berujung kepahitan. Kepahitan bagi Edgecomb dan teman – temannya yang mengetahui John tidak bersalah namun ia harus dihkum mati di sebuah kursi listrik.

 

Sama halnya dengan Galileo Galilei yang dihukum mati setelah ia membuat sebuah kebenaran tentang permukaan bumi.

 

Akankah kita mau mencari kebenaran dan melepas pikiran – pikiran buruk tentang kebenaran tersebut? Atau sebaliknya men-judge ia akan tetap salah, tanpa pernah memikirkan konsekuensi yang lahir berikutnya.

 

Aku & Kekuatanku

Lakukanlah apa yang kamu cintai

Lakukanlah apa yang yang menjadi kelebihanmu

(Alang Nemo)

 

Pernah suatu kali teman saya yang seorang trainer berkomentar kepada diriku.


”Wah, sudah bagus sekali ini, tinggal turun gunung saja?” tukasnya dengan logat campuran Yogya – Bali.

“Masa sih mas Rama? Perasaan suaraku masih kecil saja,” tanyaku keheranan.

 

Penggalan dialog itu terjadi saat selesai latihan public speaking ke – 4 kalinya dengan Rama Nugraha, teman sekaligus salah seorang yang mengajariku keberanian berbicara. Ternyata pada saat itu aku belum bisa menilai kemampuanku sendiri, malah orang lain yang mengatakannya dan mengetahui diriku lebih dulu.

 

Setiap manusia memliki potensi yang sama, tapi dalam aplikasinya berbeda – beda. Misalnya ada ahli kedokteran, peneliti, menulis atau skill seseorang yang bermain musik. Apa pun keahlian di dunia ini sesungguhnya bisa dicapai. Kita bermimpi menjadi seorang dokter ahli bedah atau pun menjadi penulis sekaliber J.K. Rowling dengan Harry Potternya itu bisa, asalkan dilatih terus menerus. Namun, mengapa orang – orang mempunyai skill yang berbeda – beda?

 

Hidup adalah pilihan. Almarhum Chrisye yang sempat kuliah di arsitektur dan perhotelan akhirnya memilih kembali ke musik sebagai jalur hidupnya dengan tidak melanjutkan studinya itu. Edison lebih memilih melanjutkan pekerjannya menemukan hal – hal baru dibanding mendengarkan orang – orang yang menyebutnya gila dan tak akan berhasil. Begitu juga kita, mau menjadi apa diri kita?

 

Ben Affleck yang memerankan tokoh Matt tiba – tiba mempunyai kekuatan super dahsyat dalam pendengarannya setelah matanya tidak dapat melihat lagi setelah terkena cairan kimia. Ada hal yang sangat menarik disini bagi siapa pun yang pernah menonton Dare Devil. Kenapa Matt tidak mencoba menghubungi pihak rumah sakit untuk menanyakan apakah ada orang yang mendonorkan matanya?

 

Aku percaya bahwa kita pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan atau kekuatan dan kelemahan. Ada orang yang jago bermain sepakbola namun di sisi lain ia lemah dalam hal hitung – menghitung. Atau salah satu tokoh yang aku kagumi, ia hebat dalam menulis namun urusan teknologi komputer lain lagi.

 

Berdasarkan penelitian tentang psikologi positif oleh Donald O. Clifton, yang melakukan risetnya pada 2 juta pekerja, 80.000 manager, dan ribuan perusahaan dari berbagai tipe industri, akhirnya pada tahun 2001 ditemukan hal baru tentang bakat dengan 34 bakat didalamnya. Mudahnya, penelitian ini menghasilkan output tentang kelebihan dan kekurangan pada diri seseorang. Dan pada setiap perusahaan kita ketahui ada bahkan banyak posisi yang sebenarnya tidak ditempati oleh orang yang cocok. Artinya kelebihan kita miliki harus sesuai dengan profil kerja yang akan kita lakukan. Sebagai contohnya lagi, posisi humas memerlukan orang – orang yang pandai berkomunikasi. Siapapun orang yang pandai berkata – kata sangat cocok sekali dengan posisi ini. Namun pada realitanya bisa terjadi orang yang kurang bisa berkomunikasi bekerja sebagai humas atau public realition. Sehingga hasilnya pun tidak akan bagus dan efektif. Biaya pengeluaran pun bertambah untuk melakukan training karyawan, dan sebagainya.

 

Kenapa kita tidak mencontoh sang superhero iblis, Dare Devil? Dengan pendengaran yang sangat tajam ia pun akhirnya dapat melihat, walau melalui telinga. Dan akhirnya ia bisa memberantas kejahatan di sudut – sudut kota.

 

Ada satu cerita lagi untuk menutup artikel ini, yaitu tentang seorang ayah dan anak. Sang anak ketika di sekolah tidak mau belajar, ia lebih suka menggambar atau melukis. Oleh karena itu gurunya melaporkan hal itu kepada ayah si anak. Sang ayah pun kemudian berusaha mengajaknya anaknya untuk belajar dan menghentikan kebiasaan mengammbarnya. Bahkan si ayah sampai mendatangkan guru privat ke rumah untuk menyuruh si anak belajar. Namun hasilnya tetap saja, nihil. Suatu ketika ada seorang teman si ayah bertamu dan ketika menunggu si ayah ia melihat sang anak sedang asik menggambar. Ia memperhatikan dengan serius sampai gambarnya selesai dibuat.


”De, bagus sekali gambarnya? Belajar menggambar dimana?” tanya teman si ayah.

”Masa sih Om?” papar si anak heran.

 

Cerita tersebut mendeskripsikan kekuatan dan kelemahan si anak. Bagaimana sikap orang tua yang bijak dan arif seharusnya? Kenapa tidak mencoba menguatkan kelebihan si anak tersebut, misalnya dengan menyekolahkan ke teater – teater lukis? Hingga kelak ia akan menjadi pelukis – pelukis handal yang sangat mencintai apa yang ia lakukan.

 

Ketika kita menyadari memiliki power atau strength pada suatu hal dan merasa yakin bahwa hal itu akan menjadi bekal kehidupan kita kelak, maka kenapa tidak kuatkan itu saja dan mengabaikan kelemahan yang kita miliki. Analoginya ketika kita menguatkan strength kita maka otomatis kelemahan kita akan tertutupi. Otomatis.

 

Siapkah kita menguatkan kelebihan kita sesungguhnya dan melepas atau mengabaikan kekurangan yang kita miliki?